Jumat, 13 Januari 2012

TEORI-TEORI YANG MENDASARI TERBENTUKNYA SISTIM SOSIAL DALAM MASYARAKAT

Tidak mudah untuk menjelaskan sistim sosial Indonesia mengingat begitu beragamnya corak kehidupan sosial yang berlaku di masyarakat Indonesia yang merupakan entitas-entitas suku bangsa yang masing-masing memiliki sistim sosialnya sendiri. Untuk menjadikan satu sistim sosial yang berlaku di suatu entitas tertentu dari masyarakat Indonesia sebagai sistim sosial Indonesia tentunya merupakan bentuk pemerkosaan terhadap eksistensi sistim sosial dari entitas suku bangsa lainnya di Indonesia. Oleh karenanya konsep sistim sosial Indonesia hanyalah sebuah klaim politis yang dalam realitanya sulit bagi kita untuk menyatakan berbagai sistim sosial yang ada di Indonesia sebagai satu kesatuan sistim sosial yang berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia. Akan lebih mendekati realita soiologis kalau dikatakan sebagai sistim sosial di Indonesia yang merefleksikan berbagai sistim sosial yang ada pada entitas-entitas suku bangsa yang ada di Indonesia. Namun demikian tidak berarti bahwa sistim sosial di Indonesia ini tidak dapat dijelaskan secara teoritik. Sebuah sistim sosial adalah merupakan keniscayaan sebagai konsekwensi dari adanya kehidupan bersama. Berikut akan dijelaskan beberapa teori yang mendasari terbentuknya sistim sosial, di antaranya adalah : • Teori Stratifikasi Sosial-Fungsional • Teori Fungsional Struktural • Teori Neo-Fungsionalisme • Teori Konflik • Teori Sistim A. Teori Stratifikasi Sosial-Fungsional Teori stratifikasi sosial merupakan teori sosial yang diintrodusir dan dikembangkan oleh Kingsley Davis dan Wilbert Moore (1945). Stratifikasi sosial merupakan fenomena universal, karena tidak ada satupun masyarakat tanpa stratifikasi atau tanpa kelas. Stratifikasi adalah keharusan fungsional, dan masyarakat memerlukannya. Oleh karena itu lalu lahirlah sistim stratifikasi sosial berdasarkan fungsinya dalam kehidupan masyarakat. Sistim stratifikaksi sosial adalah sebuah struktur yang tidak mengacu pada pribadi, akan tetapi pada sistim posisi (kedudukan) individu dalam masyarakat. Posisi tertentu individu dalam masyarakat akan mempengaruhi prestise bagi individu yang berbeda. Dalam hal ini Davis dan Moore tidak menekankan bagaimana mendapatkan posisi atau kedudukan itu dalam masyarakat, akan tetapi nemekankan pada bagaimana cara posisi tertentu mempengaruhi tingkat prestise dalam masyarakat. Persoalan krusial dalam stratifikasi sosial-fungsional adalah bagaimana masyarakat memotivasi dan menempatkan individu pada posisi/kedudukannya yang tepat di masyarakat, dan Bagaimana masyarakat menanamkan motivasi kepada individu untuk memenuhi persyaratan dalam mengisi posisi tersebut ? Penempatan sosial yang tepat dalam masyarakat seringkali menjadi masalah karena : 1.Posisi tertentu lebih menyenangkan dari pada posisi yang lain. 2.Posisi tertentu lebih penting untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat dari posisi yang lain. 3.Posisi-posisi sosial yang berbeda memerlukan bakat dan kemampuan yang berbeda pula. Dari ketiga hal di atas Davis dan Moore lebih memberikan perhatian pada posisi yang penting dalam masyarakat untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat. Ini merupakan posisi yang lebih tinggi tingkatannya dalam stratifikasi masyarakat yang memerlukan bakat dan kemampuan terbaik meski dianggap kurang menyenangkan. Oleh karena itu masyarakat harus memberikan penghargaan yang terbaik (award) bagi individu yang menduduki posisi ini agar dapat bekerja dengan tekun. Sebaliknya posisi-posisi lainnya dianggap lebih rendah dalam stratifikasi masyarakat, kurang penting, dan tidak terlalu memerlukan bakat dan kemampuan terlalu besar namun menyenangkan. Selain itu masyarakat tidak terlalu menuntut individu yang menduduki posisi rendah ini untuk malaksanajan kewajiban mereka dengan tekun. Individu yang berada di puncak stratifikasi harus menerima hadiah/imbalan yang memadai dari fungsi yang dilaksanakannya itu dalam bentuk prestise yang tinggi, gaji besar, dan kesenangan yang cukup. Ini untuk meyakinkan bahwa individu mau menduduki posisi yang tinggi itu dalam masyarakat. Namun teori stratifikasi sosial-fungsional ini mendapatkan banyak kritik, khususnya terkait dengan : 1. Previlage atau hak-hak istimewa yang diterima individu yang menduduki stratifikasi struktural yang tinggi dari masyarakat. Dan hal ini akan melanggengkan posisi istimewa orang-orang yang telah memiliki kekuasaan, prestise, dan uang. Karena orang-orang ini berhak mendapatkan hadiah/imbalan seperti itu dari masyarakat demi kebaikan masyarakat sendiri. 2. Teori ini menyatakan bahwa struktur sosial yang terstratifikasi sudah ada sejak masa lalu, maka ia akan tetap ada di masa datang. Padahal ada kemungkinan bahwa masyarakat di masa depan akan ditata menurut cara lain tanpa stratifikasi. 3. Ide tentang posisi fungsional yang berbeda-beda arti pentingnya bagi masyarakat sangatlah absurd. Pengumpul sampah meski dalam posisi rendah, tidak bergengsi dan berpenghasilan kecil namun mungkin lebih penting bagi kelangsungan hidup masyarakat di banding dengan seorang manajer periklanan yang berpenghasilan besar. Imbalan yang lebih besar tidak selalu berlaku untuk posisi yang lebih penting. Perawat mungkin lebih penting daripada seorang bintang film/sinetron. Tetapi bintang film/sinetron lebih besar kekuasaan/pengaruhnya, prestisenya, dan penghasilannya dibandingkan dengan seorang perawat. 4. Orang yang mampu menduduki posisi tinggi sebenarnya tidak terbatas. Hanya saja banyak orang yang terhalang secara struktural untuk mencapai kedudukan tinggi di masyarakat khususnya untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan untuk mencapai posisi bergengsi itu meski memiliki kemampuan. Dengan kata lain banyak orang yang memiliki kemampuan namun tidak pernah mendapatkan/diberikan kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya. Mereka yang berada pada posisi tinggi mempunyai kepentingan tersembunyi untuk mempertahankan agar jumlah mereka tetap kecil, dan kekuasaan serta pendapatan mereka tetap tinggi. 5. Kita tidak harus menawarkan kepada orang kekuasaan, prerstise dan uang untuk membuat mereka mau menduduki posisi tingkat tinggi. Orang dapat sama-sama termotivasi oleh kepuasan mengerjakan pekerjaan yang baik atau oleh peluang yang tersedia untuk malayani orang lain. B. Teori Fungsionalisme Struktural. Fungsionalisme struktural diperkenalkan dan dikembangkan oleh Talcot Person dan Robert K. Merton sebagai tradisi teoritik dalam kajian-kajian kemasyarakatan khususnya yang menyangkut sturktur dan fungsi masyarakat. Teori fungsionalisme struktural mengambil basis teoritis dari teori stratifikasi sosial yang diperkenalkan oleh Kingsley davis dan Wilbert Moore (1945). Namun dalam perkembangannya teori ini telah mengalami kemerosotan khususnya pada empat dekade terakhir dan akhirnya hanya bermakna historis, untuk kemudian dikembangnya menjadi neo-fungsionalime oleh Zevry Alexander pada tahun 1980 an. Fungsionalisme Struktural Talcot Person Teori struktural fungsional Talcot Person dimulai dengan empat fungsi penting untuk semua sistim ”tindakan” yang disebut dengan AGIL. Melalui Agil ini kemudian dikembangkan pemikiran mengenai struktur dan sistim. Menurut Person fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistim. Dengan difinisi ini Person yakin bahwa ada empat fungsi penting yang diperlukan semua sistim yang dinamakan AGIL yang antara lain adalah : • Adaptation (adaptasi). Sebuah sistim harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistim harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya. • Goal attainment (pencapaian tujuan). Sebuah sistim harus mendifiniisikan diri untuk mencapai tujuan utamanya. • Integration (integrasi). Sebuah sistim harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistim juga harus mengelola antar hubungan ketiga fungsi penting lainnya (A, G, L). • Latency (pemeliharaan pola). Sebuah sistim harus memperlengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individu maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi. Agar dapat tetap bertahan, maka suatu sistim harus mempunyai keempat fungsi ini. Parson mendisain skema AGIL ini untuk digunakan di semua tingkat dalam sistim teorinya, yang aplikasinya adalah sebagai berikut : • Organisme perilaku adalah sistim tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dengan dan mengubah lingkungan eksternal. • Sistim kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistim dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya. • Sistim sosial menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan bagian-bagian yang menjadi komponennya. • Sistim kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak. Dari skema tindakan Parson ini nampak bahwa Parson mempunyai gagasan yang jelas mengenai tingkatan analisis sosial maupun mengenai hubungan antara berbagai tingkatan itu. Susunan hirarkinya jelas, dan tingkat integrasi menurut sistim Parson terjadi dalam dua cara : 1. Masing-masing tingkat yang lebih rendah menyediakan kondisi atau kekuatan yang diperlukan untuk tingkat yang lebih tinggi. 2. Tingkat yang lebih tinggi mengendalikan tingkat yang berada di bawahnya. Inti pemikiran Parson ditemukan dalam empat sistim tindakan yang diciptakannya. Tingkatan yang paling rendah dalam sistim tindakan ini adalah lingkunagn fisik dan organisma, meliputi aspek-aspek tubuh manusia, anatomi, dan fisiologisnya. Sedang tingkat yang paling tinggi dalam sistim tindakan adalah realitas terakhir yang mungkin dapat berupa kebimbangan, ketidak pastian, kegelisahan, dan tragedi kehidupan sosial yang menantang organisasi sosial. Di antara dua lingkungan tindakan itulah terdapat empat sistim yang diciptakan oleh Parson meliputi organisme perilaku, sistim kepribadian, sistim sosial, dan sistim kultutral. Semua pemikiran Parson tentang sistim tindakan ini didasarkan pada asumsi-asumsi beikut : 1.Sistim memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling bergantung. 2.Sistim cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan. 3.Sistim mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur. 4.Sifat dasar bagian dari suatu sistim berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lain. 5.Sistim memelihara batas-batas dengan lingkunganya. 6.Alokasi dari integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistim. 7.Sistim cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan diri yang meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan kerseluruhan sistim, menegndalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistim dari dalam. Dari asumsi-asumsi inilah Parson menempatkan analisis struktur keteraturan masyarakat pada prioritas utama. Parson sedikit sekali memperhatikan masalah perubahan sosial. Keempat sistim tindakan ini tidak muncul dalam kehidupan nyata; tetapi lebih merupakan peralatan analisis untuk menganalisis kehidupan nyata. Sistim Sosial Menurut Parson sistim sosial berawal pada interaksi tingkat mikro antara ego dengan alter ego yang merupakan bentuk sistim sosial yang paling mendasar. Parson mendifinisikan sistim sosial sebagai : ”Sistim sosial terdiri dari sejumlah aktor individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan (fisik), aktor-aktor yang mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecenderungan untuk mengoptimalkan kepuasan yang berhubungan dengan situasi mereka yang didefinisikan dan dimediasi dalam term sistim simbol bersama yang tersturktur secara kultural”. Disini Parson menggunakan konsep-konsep atau kata-kata kunci yakni aktor, interaksi, lingkungan, optimalisasi kepuasan, dan kultur. Uniknya meski Parson berkomitmen melihat sistim sosial sebagai sebuah interaksi, namun Parson tidak menggunakan konsep interaksi sebagai unit fundamental dalam studi tentang sistim sosial, ia malah menggunakan konsep status-peran sebagai unit dasar dari sistim. Status-peran bukan merupakan satu aspek dari aktor atau interaksi, melainkan lebih merupakan komponen sturktural dari sistim sosial. Status mengacu pada posisi struktural di dalam sistim sosial, dan peran adalah apa yang dilakukan aktor dalam posisinya itu, dilihat dalam konteks signifikansi fungsionalnya untuk sistim yang lebih luas. Dalam analisisnya tentang sistim sosial, Meski Parson lebih melihat pada komponen-komponen strukturalnya seperti status- peran, kolektifitas, norma, dan nilai, namun parson juga melihat aspek fungsionalnya. Persyaratan fungsional dari suatu sistim sosial menurut Parson adalah : 1.Sistim sosial harus terstruktur (ditata) sedemikian rupa hingga dapat beroperasi dalam hubungan yang harmonis dengan sistim yang lain. 2.Untuk menjaga kelangsungan hidupnya, sistim sodial harus mendapatkan dukungan dari sistim yang lain. 3.Sistim sosial harus mampu memenuhi kebutuhan para aktornya dalam proporsi yang signifikan. 4.Sistim harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para anggotanya. 5.Sistim sosial harus mampu mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu. 6.Bila konflik akan menimbulkan kekacauan, maka itu harus segera dikendalikan. 7.Untuk kelangsungan hidupnya, sistim sosial memerlukan bahasa. Dalam sistim sosial ini Parson menekankan pentingnya aktor. Akan tetapi Parson lebih melihatnya sebagai kenyataan fungsional bukan struktural, karena aktor merupakan pengemban dari fungsi peran yang adalah bagian dari sistim. Oleh karenanya harus terdapat integrasi pola nilai dalam sistim antara aktor dengan struktur sosialnya. Dan ini hanya dapat dilakukan dengan melalui proses internalisasi dan sosialisasi. Disini terdapat pengalihan norma dan nilai sistim sosial kepada aktor di dalam sistim sosial. Dalam proses sosialisasi yang berhasil, norma dan nilai itu diinternalisasikan, artinya norma dan nilai itu menjadi bagian dari kesadaran aktor. Akibatnya dalam mengejar kepentingannya, aktor harus mengabdi pada kepentingan sistim sebagai satu kesatuan. Dalam proses sosialisasi bukan hanya mengajarkan seorang (anak) untuk bertindak, akan tetapi juga mempelajari norma dan nilai masyarakat. Sosialisasi merupakan sebuah proses yang konservatif, dimana disposisi kebutuhan yang sebagian besarnya dibentuk masyarakat mengikatkan anak-anak pada sistim sosial, dan sosialisasi itu menyediakan alat untuk memuaskan disposisi kebutuhan tersebut. Dengan demikian dalam proses sosialisasi ini hampir tidak ada kreatifitas, kebutuhan untuk mendapatkan gratifikasi mengikatkan anak-anak pada sistim sebagaimana adanya. Sosialisasi merupakan pengalaman seumur hidup, Norma dan nilai yang ditanamkan cenderung bersifat umum sehingga tidak dapat digunakan oleh anak-anak ketika menghadapi berbagai situasi khusus ketika mereka dewasa nanti. Oleh karena itu dalam sosialisasi perlu dilengkapi serangkaian pengalaman sosialisasi yang bersifat spesifik, karena nilai dan norma yang dipelajari ketika masih kanak-kanak cenderung tidak berubah, dan dengan sedikit penguatan cenderung tetap berlaku seumur hidup. Meski terdapat sosialisasi, namun akan tetap terdapat sejumlah besar perbedaan individual di dalam sistim. Namun sejumlah perbedaan individual ini tidak menjadi problem besar bagi sistim sosial, padahal sistim sosial memerlukan keteraturan. Ada beberapa hal yang mungkin dapat menjelaskan hal ini : 1.Sejumlah mekanisme pengendalian sosial dapat digunakan untuk mendorong ke arah penyesuaian. Tapi menurut Parson, pengendalian sosial adalah pertahanan lapis kedua. Sebuah sistim sosial berjalan dengan baik bila pengendalian sosial hanya digunakan dengan hemat. 2.Sistim sosial harus mampu menghormati perbedaan, bahkan penyimpangan tertentu. Sistim sosial yang lentur lebih kuat ketimbang yang kaku, yang tidak dapat menerima penyimpangan. 3.Sistim sosial harus menyediakan berbagai jenis peluang untuk berperan yang memungkinkan bermacam-macam kepribadian yang berbeda untuk mengungkapkan diri mereka sendiri tanpa mengancam integritas sistim. Dengan demikian sosialisasi dan kontrol sosial merupakan mekanisme utama yang memungkinkan sistim sosial mempertahankan keseimbangannya. Individualitas dan penyimpangan diakomodasi, tetapi bentuk-bentuk yang lebih ekstrem harus ditangani dengan mekanisme penyeimbang ulang. Jelas Parson lebih melihat sistim sebagai satu kesatuan daripada aktor di dalam sistim. Di sini sistim mengontrol aktor, bukan sebaliknya aktor menciptakan dan mengendalikan sistim. Masyarakat adalah bagian dari kolektifitas dalam sistim sosial yang menjadi perhatian Parson. Mengutip pendapat Rocher, Parson menyatakan masyarakat sebagai : • kolektifitas yang relatif mencukupi kebutuhannya sendiri, • yang anggotanya mampu memenuhi seluruh kebutuhan kolektif dan individualnya, • dan hidup sepenuhnya dalam kerangkanya sendiri. Parson membedakan antara empat struktur atau sub sistem dalam masyarakat menurut fungsi sistim tindakan (AGIL) yang dilaksanakan masyarakat, yaitu : • Sistim Ekonomi Adalah sub sistim dalam masyarakat yang melaksanakan fungsi masyarakat dalam menyesuaikan diri terhadap ligkungan melalui tenaga kerja, produksi dan alokasi. Melalui pekerjaan ekonomi menyesuaikan diri dengan lingkungan kebutuhan masyarakat dan membantu masyarakat menyesuaikan diri dengan realitas eksternal. • Sistim Pemerintahan Sistim pemerintahan atau sistim politik melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan mengejar tujuan-tujuan kemasyarakatan, memobilisasi aktor dan berbagai sumber daya untuk mencapai tujuan. • Sistim Fiduciari Sistim Fiducari (keluarga, sekolah) menjalankan fungsi pemeliharaan pola dengan menyebarkan kultur (norma dan nilai) kepada aktor sehingga aktor menginternalisasikan kultur tersebut. • Komunitas Kemasyarakatan Komunitas kemasyarakatan (hukum dsb.) melaksanakan fungsi integrasi yang mengkordinasikan berbagai komponen masyarakat. Menurut Parson, sepenting-pentingnya struktur dalam sistim sosial, yang paling penting adalah sistim kultural dalam masyarakat. Sistim kultural berada di puncak sistim tindakan, yang disebutnya dengan determinis kultural. Sistim Kultural Sistim kultural merupakan kekuatan utama yang mengikat berbagai unsur dunia sosial. Kultur adalah kekuatan yang mengikat sistim tindakan, menengahi interaksi antar aktor, menginteraksikan kepribadian, dan menyatukan sistim sosial. Kultur mempunyai kapasitas khusus untuk menjadi komponen sistim yang lain. Dalam sistim sosial, sistim diwujudkan dalam norma dan nilai, dan dalam sistim kepribadian norma dan nilai ini diinternalisasikan oleh aktor. Meski sistim kultural menjadi bagian dari suatu sistim tindakan, namun sistim kultural bisa mempunyai eksistensi tersendiri yang terpisah dari sistim tindakan, yaitu dalam bentuk pengetahuan, simbol-simbol, dan gasasan-gagasan. Aspek-aspek dari sistim kultural tersedia untuk sistim sosial dan sistim personalitas, tapi sistim kultural tidak menjadi bagian dari kedua sistim itu. Kultur adalah sistim simbol yang terpola, teratur, yang menjadi sasaran orientasi para aktor dalam rangka penginternalisasian aspek-aspek kepribadian dan pola-pola yang sudah terlembagakan dalam sistim sosial. Kultur bersifat subjektif dan simbolik, oleh karena itu kultur mudah ditularkan dan dipindahkan dari satu sistim sosial ke sistim sosial lain melalui penyebaran (difusi), atau dari satu kepribadian ke pribadian yang lain melalui proses belajar dan sosialisasi. Sifat simbolisme (subjektifitas) dari kultur menempatkan kultur padaposisi mengendalikan sistim tindakan yang lain. Sistim Kepribadian Sistim kepribadian dalam sistim tindakan Parsom dikontrol oleh sistim sosial dan sistim kultural, karena sistim kepribadian merupakan hasil sosialisasi dan internalisasi dari sistim sosial dan sistim kultural. Namun demikian bukan berarti bahwa sistim kepribadian ini tidak bebas sama sekali, kepribadian menjadi suatu sistim yang independen melalui hubungannya dengan organisme dirinya sendiri dan melalui keunikan pengalaman hidupnya. Personalitas atau kepribadian adalah sistim orientasi dan motivasi tindakan aktor individual yang terorganisir. Komponen dasarnya adalah disposisi kebutuhan. Disposisi kebutuhan adalah unit-unit motivasi tindakan yang paling penting. Disposisi kebutuhan bukanlah dorongan hati (drives). Dorongan hati merupakan kecenderungan batiniah, bagian dari organisme biologis atau energi fisiologis yang memungkinkan terwujudnya aksi. Meski disposisi kebutuhan bukanlah dorongan hati , namun disposisi kebutuhan bisa juga berasal dari dorongan hati yang dibentuk oleh lingkungan sosial. Disposisi kebutuhan memaksa aktor menerima atau menolak objek yang tersedia dalam lingkungan atau mencari objek yang baru bila objek yang tersedia tidak dapat memuaskan disposisi kebutuhan secara memadai. Parson membedakan disposisi kebutuhan dalam beberapa tipe dasar, di antaranya adalah : 1.Memaksa aktor mencari cinta, persetujuan dan sebagainya dari hubungan sosial mereka. 2.Meliputi internalisasi nilai yang menyebabkan aktor mengamati berbagai standar kultural. 3.Adanya peran yang diharapkan yang menyebabkan aktor memberikan dan menerima respon yang tepat. Ketiga tipe ini menempatkan aktor pada citra yang pasif, karena tindakannya dipaksa oleh dorongan hati, atau didominasi oleh kultur atau dibentuk oleh gabungan dorongan hati dan kultur (disposisi kebutuhan). Sistim kepribadian yang pasif merupakan mata rantai teori yang lemah dalam sebuah teori yang terpadu. Oleh karenanya Parson lalu memberikan kreatifitas tertentu dalam kepribadian bahwa kepribadian tidak semata-mata hasil internalisasi kultur atau sekedar mentaati aturan dan hukum, akan tetapi pada saat melakukan internalisasi kultur sesungguhnya ia juga melakukan modifikasi kreatif. Meski demikian hal ini tidaklah menghilangkan citra sistim kepribadian yang pasif sebagaimana yang diintrodusir Parson. Kritik terhadap teori sistim kepribadian Parson. 1.Penekanan pada disposisi kebutuhan menjadikan sistim kepribadian dalam teori Parson sangat miskin, padahal sistim kepribadian memiliki banyak aspek. 2.Sistim kepribadian terintegrasi dalam sistim sosial. Hal ini dapat dibuktikan dengan statemennya yang menyatakan bahwa ”a) aktor belajar melihat dirinya menurut cara yang sesuai dengan tempat yang didudukinya dalam masyarakat, b) peran yang diharapkan dilekatkan pada setiap peran yang diduduki oleh aktor individual, ini artinya ada pembelajaran mendisiplinkan diri, menghayati orientasi nilai yang semuanya ini menuju pada integrasi sistim kepribadian dengan sistim sosial. 3.Perhatian terhadap internalisasi sebagai proses sosialisasi sistim kepribadian mencerminkan pula manifestasi dari sistim kepribadian yang pasif. Organisme Perilaku Merupakan salah satu dari empat sistim tindakan yang dikemukakan Parson, didasarkan atas konstitusi genetik yang organisasinya dipengaruhi oleh proses pengkondisian dan pembelajaran yang terjadi selama hidup. Dalam kaitannya dengan organisme perilaku ini, Parson mengembangkan studinya tentang perubahan sosial yang didasarkan pada konsepnya mengenai ”Paradigma Perubahan Evolusioner” yang diadopsi dari konsep biologi mengenai teori evolusi. Parson sangat percaya bahwa masyarakat mengalami perubahan secara evolusionis (bertahap) meski tidak menurut pada garis linier, artinya bahwa perubahan dalam masyarakat tidaklah konstan dan tidak berlangsung secara terus menerus, tapi masyarakat akan berkembang tahap demi tahap. Dalam awal perkembangannya menurut paradigma perubahan evolusionier Parson ini, masyarakat akan mengalami proses diferensiasi. Setiap masyarakat tersusun dai sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan struktur dan fungsinya. Ketika masyarakat berubah, maka subsistem dalam masyarakat akan terdiferensiasi membentuk subsistem baru. Subsistem baru ini perlu melakukan penyesuaian diri, dan inilah yang menjadi penekanan pada paradigma perubahan evolusioner Parson, yakni kemampuan menyesuaikan diri yang meningkat dari subsistem sebelumnya. Ini merupakan bentuk perubahan sosial yang positif. Masyarakat yang berubah tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi masalah yang dihadapi, termasuk masalah integrasi masyarakat sebagai akibat dari terjadinya proses diferensiasi. Konsekwensi lain dari perubahan evolusioner dalam masyarakat adalah sistim nilai dari masyarakat sebagai satu kesatuan yang mengalami perubahan serentak dengan perubahan struktur dan fungsi sosial yang tumbuh semakin terdeferensiasi. Sistim baru itu semakin bervariasi, dan sistim nilai tidak lagi mampu mencakup semuanya sebagai satu kesatuan. Yang paling mungkin adalah sistim nilai yang menggariskan ketentuan-ketentuan umum pada tingkat yang lebih tinggi untuk melegitimasi keanekaragaman tujuan dan fungsi yang semakin meluas dari sub unit masyarakat. Namun itupun sering berjalan tidak mulus sebagai akibat dari perlawanan kelompok –kelompok yang melaksanakan sistim nilai sempit mereka sendiri. Proses evolusi dapat berlangsung dengan berbagai macam cara, tidak ada satu pola umum yang mempengaruhi semua masyarakat secara equal. Masyarakat tertentu mungkin mendorong terjadinya evolusi, tetapi masyarakat lain justru tertimpa konflik internal atau menghadapi rintangan lain yang menghalangi atau bahkan memperburuk proses evolusi. Secara umum semua teori Parson dianggap pasif dan konservatif. Untuk menepis semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya, Parson memperlihatkan sisi dinamis yang berubah-ubah ke dalam teorinya melalui gagasannya tentang media pertukaran umum di dalam dan di antara empat sistim tindakannya. Media pertukaran umum itu bisa berujud material maupun simbolik, di antaranya adalah uang, kekuasaan politik, pengaruh, dan komitmen terhadap nilai. Namun Parson lebih menekankan pada kualitas simbolik daripada aspek materialnya. Uang sebagai media pertukaran umum, sangat berperan sebagai medium di dalam perekonomian, dan juga dalam membangun hubungan sosial sistim kemasyarakatan, termasuk juga membangun kekuasaan politik melalui sistim politik. Inilah yang memberikan dinamisme terhadap sebagiann besar analisis struktural Parson. Fungsionalisme Struktural Robert K. Merton Robert K. Merton merupakan murid dari Talcot Parson, mengembangkan teori fungsional struktural yang sifatnya menengah atau terbatas dengan basis landasan teori marxis sehingga ia dikenal sebagai orang yang mendorong teori fungsional struktural ke arah kiri secara politis. Pokok pikirannnya adalah kritikan terhadap tiga postulat dasar analisis struktural yang dikembangkan Malinowski dan Radcliffe Bron. 1.Postulat tentang kesatuan masyarakat. Postulat ini berpendirian bahwa semua keyakinan dan praktik kultural dan sosial yang sudah baku adalah fungsional untuk masyarakat sebagai satu kesatuan maupun untuk individu oleh masyarakat. Pandangan ini secara tersirat menyatakan bahwa berbagai bagian sistim sosial pasti menunjukkan integrasi yang tinggi. Merton berpendapat, meski hal itu mungkin benar bagi masyarakat primitif yang kecil, namun generalisasi tidak dapat diperluas ke tingkat masyarakat yang lebih luas dan kompleks. 2.Postulat tentang fungsionalisme universal, bahwa seluruh bentuk kultur dan sosial dan struktur yang sudah baku mempunyai fungsi positif. Merton menyatakan bahwa postulat ini bertentangan dengan apa yang ditemukannya dalam kehidupan nyata. Yang jelas tidak setiap struktur , adat, gagasan, kepercayaan, dan sebagainya mempunyai fungsi posotif. 3.Postulat tentang indispensability, bahwa semua aspek masyarakat yang sudah baku tidak hanya mempunyai fungsi positif, tetapi juga mencerminkan bagian-bagian yang sangat diperlukan untuk berfungsinya masyarakat sebagai satu kesatuan. Postulat ini mengarah pada pemikiran bahwa semua struktur dan fungsi secara fungsional adalah penting untuk masyarakat. Tidak ada struktur dan fungsi lain manapun yang dapat bekerja sama baiknya dengan struktur dan fungsi yang kini ada dalam masyarakat. Merton menyatakan bahwa kita sekurang-kurangnya mengakui adanya berbagai alternatif struktur dan fungsi yang kita dapatkan di masyarakt. Tiga postulat di atas menurut Merton merupakan pernyataan non empiris, atau teori yang sifatnya abstrak. Untuk itulah perlu dilakukan pengujian empiris atas setiap postulat yang ada. Yang lebih penting menurut Merton bahwa analisis struktural fungsional memusatkan perhatian pada kelompok, organisasi, masyarakat, dan budaya. Dan sasaran kajiannya adalah peran sosial, pola institusional, proses sosial, pola kultural, emosi yang terpola secara kultural, norma sosial, organisasi kelompok, struktur sosial, perlengkapan untuk pengendalian sosial, dan sebagainya. Setiap objek yang dapat dijadikan sasaran analisis struktural fungsional akan mencerminkan hal yang standar (terpola dan berulang). Konsep-konsep Merton dalam Sistim Sosial Para analis pada masa struktural fungsional awal lebih memusatkan perhatian pada fungsi satu struktur sosial atau pada fungsi satu intitusi sosial tertentu saja, dan cenderung mencampur adukan motif subjektif individual dengan fungsi struktur atau institusi. Padahal sebagaimana yang dikemukakan Merton, para analis seharusnya justru lebih memusatkan pada fungsi sosial daripada motif individual. Fungsi adalah konsekwensi-konsekwensi yang dapat diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistim tertentu. Tapi kalau hanya memusatkan perhatian pada adaptasi dan penyesuaian diri tentu akan terjadi bias idiologis, karena adaptasi dan penyesuaian diri selalu mempunyai akibat positif. Satu faktor sosial dapat mempunyai akibat negatif terhadap faktor sosial lain. Oleh karena itu dalam kerangka meralat kelalaian struktural fungsional awal ini, Merton memperkenalkan sebuah konsep tentang disfunction (disfungsi). Struktur dan fungsi selain dapat bersifat positif terhadap sistim sosial, namun juga dapat menimbulkan akibat negatif terhadap sistim sosial. Perbudakan mempunyai akibat positif bagi warga kulit putih di selatan Amerika karena menghasilkan tenaga kerja murah, menyokong perekonomian, dan juga status sosial. Tetapi bersifat negatif atau difungsional bagi masyarakat lainnya yang menjadi korban perbudakan. Selain gagasan tentang disfungsi, Merton juga memperkenalkan gagasan tentang nonfunctions (non fungsi) yang didefinisikannya sebagai akibat-akibat yang sama sekali tidak relevan dengan sistim yang sedang diperhatikan. Misalnya saja bentuk-bentuk sosial yang lama atau pernah ada, yang meski pada masanya dapat bersifat positif atau negatif bagi masyarakatnya, namun tidak memberikan pengaruh yang signifikan untuk masyarakat pada masa kini. Terkait dengan banyaknya akibat yang ditimbulkan antara yang positif dengan yang negatif dalam kaitannya dengan struktur dan fungsi sosial, Merton memperkenalkan gagasan tentang net balance (keseimbangan bersih). Kita tidak akan pernah mampu untuk menimbang mana yang lebih banyak di antara yang positif atau negatif, karena masalahnya demikian kompleks dan banyak penilaian yang bersifat subjektif yang melandasinya sehingga tidak mudah untuk dihitung dan untuk ditimbang. Merton lebih memusatkan pertanyaannya pada yang lebih fungsional atau lebih disfungsional, meski pertanyaan itu juga masih terlalu luas dan mengaburkan sejumlah isu. Untuk mangatasi hal ini Merton menambahkan gagasannya bahwa harus ada level of functional analysis (tingkatan analisis fungsional). Berbeda dengan teorisasi fungsional pada umumnya yang membatasi diri untuk menganalisis masyarakat sebagai satu kesatuan, Merton justru menjelaskan bahwa analisis dapat dilakukan pada unit yang lebih kecil dan terpisah seperti organisasi, intitusi ataupun kelompok. Jadi tidak harus pada masyarakat sebagai satu kesatuan. Untuk kasus perbudakan level analisis fungsionalnya bisa pada keluarga kulit hitam, keluarga kulit putih, organisasi kulit hitam, organisasi kulit putih, dan seterusnya. Sedangklan dari sudut net balance-nya perbudakan lebih fungsional bagi unit sosial tertentu, tetapi disfungsional bagi unit sosial lainnya. Selain itu Merton juga memperkenalkan konsep manifest function (fungsi nyata) dan latent function (fungsi tersembunyi) yang memberikan tambahan penting bagi analisis fungsional. Fungsi nyata adalah fungsi yang diharapkan, sedangkan fungsi tersembunyi adalah fungsi yang tidak diharapkan. Fungsi nyata dari perbudakan adalah meningkatkan produktifitas ekonomi masyarakat, fungsi tersembunyinya adalah menyediakan sejumlah besar kelas rendah yang meningkatkan status kulit putih. Pemikiran atau konsep lain dari Merton yang terkait dengan masalah ini adalah unanticipated concequences (akibat yang tidak diharapkan). Setiap tindakan mempunyai akibat, baik yang diharapkan atau yang tidak diharapkan. Meski setiap orang menyadari setiap akibat yang diharapkan dari tindakannya, namun analisis sosiologis perlu dilakukan untuk menemukan akibat yang tidak diharapkan. Menurut Merton akibat yang tidak diharapkan tidaklah sama dengan fungsi yang tersembunyi. Fungsi tersembunyi adalah satu jenis dari akibat yang tidak diharapkan, satu jenis yang fungsional untuk sitim tertentu. Dua tipe lain dari akibat yang tidak diharapkan adalah ; a) yang disfungsional untuk sistim tertentu dan ini terdiri adri disfungsi tersembunyi dan yang tidak relevan dengan sistim yang dipengaruhinya, baik secara fungsional atau disfungsional. b) disfungsional untuk sistim secara keseluruhan, namun struktur terus bertahan hidup. Misalnya saja sistim diskriminasi antara kulit putih dan kulit hitam, kaum wanita, kelompok minoritas adalah disfungsional bagi masyarakat Amerika namun diskriminasi terus bertahan hidup karena fungsional bagi sebagian sistim fungsional. Diskriminasi terhadap wanita umumnya fungsional bagi kaum laki-laki, tapi ini bukannya tanpa disfungsi tertentu, bahkan untuk kelompok yang fungsional sekalipun. Kaum lelaki menderita akibat diskriminasi mereka terhadap wanita, kaum kulit putih terluka akibat diskriminasi mereka terhadap kulit hitam. Berdasar realita ini Merton berpendapat bahwa tidak semua struktur diperlukan untuk berfungsinya sistim sosial. Beberapa sistim sosial bisa saja dihilangkan, dan ini membuka jalan bagi perubahan sosial yang penuh makna dan menghilangkan kecenderungan konservatisisme teori fungsional. Sistim diskriminasi terhadap berbagai kelompok minoritas dalam masyarakat bisa dilenyapkan, dan ini tdak akan mengganggu eksistensi masyarakat yang sudah ada. Kajian Merton lainnya yang menarik dalam perspektif struktural fungsional adalah tentang hubungan antara kultur, struktur, dan anomie. • Kultur adalah seperangkat nilai normatif yang terorganisir, yang menentukan perilaku bersama anggota masyarakat atau anggota kelompok. • Struktur sosial adalah seperangkat hubungan sosial yang terorganisir, yang dengan berbagai cara melibatkan anggota masyarakat atau kelompok di dalamnya. • Anomie adalah keterputusan hubungan antara norma kultural dan tujuan dengan kapasitas yang terstruktur secara sosial dari anggota kelompok. Secara keseluruhan teori struktural fungsional lebih menekankan ada harmoni dan sinergi dalam masyarakat, sehingga tidak cukup memberikan perhatian pada masalah konflik di masyarakat dan cenderung tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan konflik secara efektif. C. Teori Neo Fungsionalisme Setelah mengalami kemerosotan selama dua dekade yakni sejak pertengahan 1960 an akibat kritik yang bertubi-tubi terhadap teori struktural fungsional, maka pada pertengahan tahun 1980 an berlangsung upaya besar untuk menghidupkan kembali toeri struktural fungsional yang dilakukan oleh Zevri Alexander dan Colomy dengan nama neo fungsionalisme. Neo fungsionalisme dimaksudkan untuk menghidupkan kembali pandangan fungsionalisme struktural dengan memperluas cakupannya untuk mengatasi kesulitan utamanya. Neo fungsionalisme didefinisikan sebagai ;” rangkaian kritik diri teori fungsional yang mencoba memperluas cakupan intelektual fungsionalisme yang sedang mempertahankan inti teorinya. Jadi intinya adalah menciptakan teori sintesis dengan neo fungsionalisme itu. Masalah yang akan diatasi oleh Alexander dan Colomy dengan neo fungsionalismenya adalah masalah anti individualisme, antagonistik terhadap perubahan, konservatisme, idealisme, dan bias antiempiris yang melekat pada teori fungsinalisme struktural. Beberapa orientasi dasar yang dikemukakan oleh alexander dan colomy tentang neo fungsionalisme adalah : 1.Neo fungsionalisme bekrja dengan model masyarakat deskriptif. Model ini melihat masyarakat tersusun dari unsur-unsur yang saling berinteraksi menurut pola tertentu. Pola ini memungkinkan sistim dibedakan dari lingkungannya. Unsur-unsur sistim berhubungan secara simbiosis dan interaksinya tidak ditentukan oleh kekuatan semata. Jadi neo fungsionalisme bersifat terbuka dan plural. 2.Alexander menyatakan bahwa neo fungsionalisme memusatkan perhatian yang sama besarnya terhadap tindakan dan keteraturan. Ini berarti menghindarkan kecenderungan fungsionalisme struktural tradisional yang memusatkan perhatian hampir sepenuhnya pada sumber dan keteraturan tingkat makro di dalam struktur sosial dan kultur. Perspektif ini memberikan perhatian yang cukup terhadap pola tindakan di tingkat yang lebih mikro. Selain itu juga mempunyai perhatian besar terhadap tindakan tidak hanya yang rasional tetapi juga tindakan yang ekspresif. 3.Neo fungsionalisme tetap memperhatikan masalah integrasi, tetapi bukan dilihat sebagai fakta sempurna melainkan dilihat sebagai kemungkinan sosial. Neo fungsionalisme mengakui bahwa penyimpangan dan kontrol sosial adalah realitas dalam sistim sosial. Neo fungsionalisme memperhatikan keseimbangan, tetapi dalam konteks yang lebih luas ketimbang perhatian fungsionalisme struktural tradisional. Keseimbangan sosial tidak dilihat sebagai keseimbangan statis. Keseimbangan dilihat sebagai titik rujukan untuk analisis fungsional tetapi bukan sebagai deskripsi kehidupan individual sosial yang nyata. 4.Neo fungsionalisme tetap menerima penekanan Parsonsian tradisional atas kepribadian, kultur dan sistim sosial.Selain sebagai aspek fital untuk struktur sosial, interpretasi atas sistim sosial itu juga menghasilkan ketegangan yang merupakan sumber perubahan dan kontrol. 5.Neo fungsionalisme memusatkan perhatian pada perubahan sosial dalam proses diferensiasi di dalam sistim sosial, kultur, dan kepribadian. Perubahan tak hanya menghasilkan keselarasan dan konsensus, tetapi juga dapat menimbulkan ketegangan, baik individual maupun kelembagaan. 6.Neo fungsionalisme secara tak langsung menyatakan komitmennya terhadap kebebasan dalam mengkonseptualisasikan dan menyusun teori berdasarkan analisis sosiologis pada tingkat lain. Apa yang dilakukan Alexander dan Colomy bukan hanya sekedar elaborasi atau revisi terhadap fungsionalisme struktural tradisional, melainkanm sebagai rekonstruksi dramatis terhadap fungsionalisme struktural dimana perbedaannya dengan pendirinya (Parson) diakui dengan jelas dan ada keterbukaan yang eksplisit terhadap teori dan teoritisasi lainnya. Untuk mengatasi segala bias dalam teori fungsionalisme struktural, Alexander dan Colomy berupaya mengintegrasikan ide-ide dari teori pertukaran, interaksionisme simbolik, pragmatisme, fenomenologi, dan sebaginya. Denga kata lain Alexander dan Colomy berupaya mensintesiskan fungsionalisme struktural dengan sejumlah tradisi teoritis lainnya. Namun demikian masa depan neo fungsionalisme diragukan karena fakta bahwa pendiri dan eksponen utamanya Jeffrey Alexander menjelaskan bahwa dia telah keluar dari orientasi neo fungsionalisme. Proyek neo fungsionalisme yang dilakukan untuk membangun kembali legitimasi dan arti penting teori fungsionalisme struktural sudah berhasil, dan proyek ini sudah berakhir. Langkah berikutnya adalah justru melampaui kedua teori itu dan membangun sebuah sintesis teori yang lebih elektik, mengambil dari bermacam-macam sumber teori. Secara khusus Alexander berusaha untuk mengembangkan mikro sosiologi dan teori kultural. D. Teori Konflik Teori konflik sebagiannya berkembang sebagai reaksi terhadap fungsionalisme struktural dan akibat berbagai kritik yang terjadi. Teori konflik berasal dari berbagai sumber lain seperti teori Marxis, dan pemikiran konflik sosial dari Simmel. Pada tahun 1950 an-1960 an teori konflik memberikan alternatif terhadap teori struktural fungsional, tetapi dalam beberapa tahun terakhir telah digantikan oleh berbagai macam teori Neo-Marxian. Salah satu konstribusi utama teori konflik adalah meletakkan landasan untuk teori-teori yang lebih memanfaatkan pemikiran Marx. Masalah mendasar dalam teori konflik adalah teori itu tidak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar struktural fungsionalnya. Teori ini lebih merupakan sejenisfungsionalisme struktural yang angkuh ketimbang teori yang benar-benar berpandangan kritis terhadap masyarakatnya. Stratifikasi Sosial-Fungsional dan Analisisnya Fenomena adalah hal-hal yang dapat disaksikan dengan panca indra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah. Terdapat banyak sekali fenomena yang terjadi di dalam masyarakat, salah satunya adalah fenomena yang sangat universal yang dapat terjadi dimanapun dan kapanpun. Fenomena itu adalah fenomena stratifikasi sosial. Stratifikasi berasal dari kata stratum yang berarti strata atau lapisan dalam bentuk jamak. Stratifikasi sosial adalah suatu konsep dari ilmu Sosiologi yang dapat diterapkan dalam dunia nyata yang menjelaskan tentang bagaimana anggota masyarakat dapat dibedakan berdasarkan status yang dimiliknya. Status yang dimiliki ini didapatkan melalui berbagai macam cara, antara lain adalah dengan suatu usaha (achievement status) dan yang didapatkan tanpa suatu usaha (ascribed status). Stratifikasi sosial yang terkenal dalam kehidupan bermasyarakat ini dipopulerkan oleh Kingsley Davis dan Wilbert Moore pada tahun 1945. Menurutnya, tidak ada satupun masyarakat yang tinggal dalam ruang lingkup tertentu yang hidup tanpa stratifikasi atau pembagian kelas. Semua aspek kehidupan dalam lingkungan bermasyarakat pasti mempunyai stratifikasi sosial. Terdapat tiga hal yang dianggap penting oleh Kingsley Davis dan Wilbert Moore dalam stratifikasi sosial. Menurut pendapat mereka, tiga hal penting itu adalah point-point utama yang seringkali menjadi masalah dalam penempatan sosial. Point pertama adalah posisi tertentu yang lebih menyenangkan dari posisi lain, point kedua adalah posisi tertentu yang lebih penting untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat dari posisi lain dan point terakhir adalah posisi-posisi sosial yang berbeda memerlukan bakat dan kemampuan yang bebeda pula. Menurut Davis dan Moore, point yang kedua dari tiga point yang telah disebutkan adalah point yang dianggap paling. Dalam penerapan point kedua tersebut, Davis dan Moore menyarankan agar pelaku yang merealisasikan point kedua tersebut berhak mendapatkan award. Hal ini berguna untuk menjadikan motivator kepada sang pelaku point untuk melakukan perkerjaan yang lebih baik lagi. Stratifikasi sosial yang terjadi di masyarakat terbagi menjadi dua, stratifikasi sosial tertutup dan stratifikasi sosial terbuka. Maksud dari sistem stratifikasi sosial tertutup disini adalah bahwa terdapat suatu sistem stratifikasi sosial yang sulit ditembus oleh masyarakat yang tergolong masyarakat kelas bawah, yang sulit bagi mereka untuk meningkatkan status sosialnya. Sedangkan maksud dari sistem stratifikasi sosial terbuka adalah suatu sistem yang cenderung lebih bebas dibandingkan dengan sistem stratifikasi tertutup, karena setiap warga masyarakat mempunyai kesempatan untuk mendapatkan kesempatan yang adil untuk meningkatkan status sosial yang ada. Banyak hal yang dapat dijadikan contoh untuk menganalisis teori ini. Masalah pendidikan misalnya, tentunya memiliki konteks stratifikasi sosial. Hal ini dapat dijelaskan salah satunya dari stratifikasi sosial yang bersifat tertutup, dimana masyarakat kecil cenderung lebih sulit untuk mendapatkan pendidikan di lembaga pendidikan yang cukup baik. Contoh lain juga bisa dijelaskan dengan stratifikasi sosial terbuka. Dengan kehidupan masyarakat yang berkecukupan dalam hal biaya, masyarakat yang tergolong dalam stratifikasi sosial terbuka ini cenderung dapat untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan keinginan dan bakat mereka. Masih dalam stratifikasi sosial di bidang pendidikan, prioritas Davis dan Moore tentang posisi yang penting dalam masyarakat untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat yang harus diberikan perhatian lebih juga dapat langsung direalisasikan dalam bidang pendidikan. Bila dianalisis lebih lanjut, hal yang dianggap penting oleh Davis and Moore itu dapat dilihat dari kehidupan di bidang pendidikan pada lingkungan yang cukup simple, yaitu kehidupan pendidikan di sekolah. Hal ini dapat dilihat dari pihak sekolah yang memberikan award atau penghargaan kepada guru atau staf sekolah yang telah memberikan sumbangsih yang cukup besar terhadap prestasi sekolah. Bila dilihat dalam konteks negara, teori Davis dan Moore ini juga terealisasikan dalam dunia pendidikan, dengan contoh memberikan awards dan penghargaan kepada para menteri atau pejabat daerah yang telah berhasil memberikan sumbangsih yang cukup besar dan berarti terhadap negeri ini. Teori ini memang tampak cukup rasional dan sangat relevan dengan kehidupan nyata, tetapi tak ada sesuatu yang sempuran, terdapat kritik yang ditujukan kepada Davis dan Moore, khususnya yang terkait dengan hak-hak istimewa yang akan diterima kepada individu yang telah menempati stratifikasi strukrutal yang ada di masyarakat, hal ini menyebabkan suatu kelanggengan posisi istimewa terhadap orang yang telah memiliki kekusaan tersebut. Walaupun terdapat beberapa kekurangan dan kritik terhadap teori ini, namun pada dasarnya teori Davis dan Moore ini bisa diterapkan guna menganalisis sistem sosial yang terjadi di masyarakat Indonesia, tidak hanya analisis di bidang pendidikan, melainkan di bidang lain seperti politik, ekonomi, dan juga budaya.

Tidak ada komentar: