Senin, 08 Juni 2009

WAKTU


Detik berganti menjadi menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti bulan dan bulan berganti tahun........tapi apakah kita tidak pernah selalu mengambil pelajaran dari waktu-waktu kita yang telah terbuang sia-sia.karena setiap detik waktu yg kita buang secara percuma semuanya akan dipertanggungjawabkan disisi Tuhan.
kebanyakan waktu kita yang selalu terbuang sia-sia karena kelalaian kita sendiri yang selalu mengundur-undur moment-moment yang berharga, kita selalu berkata "sebentar lagi, tanggunglah, nanti saja" dan lain-lain kata yang selalu kita ucapkan untuk membuang waktu secara percuma.
biarlah malam semakin malam, dan biarlah siang semakin siang. kita biarkan saja waktu berlalu seperti apa adanya. kita yang harus mengendalikan waktu bukan waktu yang mengendalikan kita. jika kita ingin sukses maka kita harus selalu menghargai waktu dan terus berusaha meminimalisir waktu yang terbuang secara sia-sia.
Waktu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) adalah seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan atau keadaan berada atau berlangsung. Dalam hal ini, skala waktu merupakan interval antara dua buah keadaan/kejadian, atau bisa merupakan lama berlangsungnya suatu kejadian.

Jumat, 17 April 2009

GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA SERTA TANTANGAN-TANTANGANNYA KEDEPAN MENUJU INDONESIA YANG LEBIH DEMOKRASI


Oleh: M. Alfaris


Gerakan perempuan tidak bisa lepas dari yang namanya Gender, dimana yang namanya gender ini sangatlah sensitif bila laki-laki mendengarnya, kaum laki-laki hanya menyangka bahwa masalah gender ini adalah masalahnya perempuan atau kata lain ranah perempuan sedangkan laki-laki tidak masuk kedalam ranah tersebut, tidaklah demikian yang dinamakan gender itu ya mempersoalkan juga laki-laki bukan hanya perempuan saja yang menjadi onjek gender tersebut.
Gender ini banyak pengertian mengenai hal tersebut salah satunya pengertian dari Diana Dewi sartika, yaitu konstruksi sosial budaya terhadap peran dan fungsi laki-laki dan perempuan dalam suatu masyarakat serta akan berbeda pada situasi sosial budaya pada masyarakat tertentu, juga pada tataran waktu atau masa.
Gerakan perempuan ini di mulai pada tahun 1880 di dunia Barat dinamakan gerakan Feminimisme, gerakan ini muncul dikarenakan konsep penolakan atas ketidak adilan terhadap perempuan dan dukungan pada hak-hak perempuan agar setara dengan laki-laki. Feminimisme gerakannya berpihak pada perempuan.
Perempuan Indonesia, adalah komunitas yang memiliki keragaman dalam menyikapi berbagai bentuk persoalan kemasyarakatan, akan tetapi memiliki kesamaan dalam bentuk penindasan dan pengabaian yang dialami. Bagaimanapun kondisi perempuan Indonesia tak dapat dilepaskan dari pola dan budaya kehidupan masyarakat pada umumnya. Selama masa kolonial hingga kemerdekaan, perempuan selalu berada dalam posisi subordinat di keluarga dan masyarakat. Beberapa pengecualian tentu saja ada, di beberapa wilayah Indonesia. Akan tetapi yang hendak dibicarakan di sini adalah dalam hal ketersuarakannya kepentingan perempuan di lingkup publik dan domestik, sehingga kepentingan dan kebutuhan perempuan pun terwakili. Sehingga perempuan tahu apa yang diinginkannya, apa yang ingin dikatakannya untuk dirinya ataupun untuk orang lain.
Melalui perkumpulan perempuan inilah, para perempuan Indonesia kemudian menemukan keterwakilannya dan kebebasannya untuk menyuarakan kepentingannya yang belum terwakili. Perkumpulan perempuan ini nampak seperti perjuangan yang memisahkan diri dari perjuangan masyarakat pada umumnya, yaitu perjuangan menentang kolonialisme dan sebagainya. Tetapi apa yang dilakukan perempuan-perempuan ini adalah perjuangan untuk mengubah keadaan masyarakat dengan perjuangan yang lebih spesifik dalam jangkauan yang luas; seluruh perempuan Indonesia.
Kehidupan perkumpulan perempuan Indonesia (gerakan perempuan) bermula dari kegiatan para perempuan di dalam perkumpulan umumnya (perkumpulan yang beranggotakan campuran, perempuan dan laki-laki). Kaum perempuan di Nusantara, terutama yang mengecap pendidikan sekolah dasar atau menengah biasanya memulai aktivitas perkumpulan melalui kegiatan kepanduan (pramuka) atau dalam perkumpulan yang dibentuk berlatar belakang kedaerahan seperti Jong Java, Jong Sumatra atau Jong Ambon. Melalui perkumpulan pemuda inilah perempuan Indonesia turut beraktivitas. Misalnya mereka turut bersama di dalam pendeklarasian Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Di samping itu, berbagai perkumpulan umum (pemuda) membentuk seksi perempuan seperti Wanito Tomo dari Boedi Oetomo, Poetri Indonesia dari Putra Indonesia dan Wanita Taman Siswa dari Taman Siswa. Sedangkan perkumpulan perempuan yang muncul pada awal gerakan di antaranya adalah Putri Mardika, pada tahun 1916.
Beberapa perempuan yang kemudian menjadi pelopor dan panitia pelaksana Kongres Perempuan Indonesia pertama ikut serta dalam deklarasi di Jakarta itu. Mereka ini antara lain Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro, Sitti Sundari dan lain-lain. Seluruh Indonesia pun mengikuti jejak ini dengan menggalang persatuan perempuan Indonesia melalui Kongres Perempuan Pertama 22 Desember 1928. Saat inilah, lahir beberapa ide untuk mengumpulkan berbagai perkumpulan perempuan dan menggalang persatuan sesama perempuan yang tergabung melalui berbagai perkumpulan perempuan.
Selama lebih dari tiga dasawarsa kita terus menyaksikan gugatan kaum perempuan terhadap kontruksi sosial-politik yang selama ini menindas dan membelenggunya. Gugatan ini sejalan dengan isu keadilan dan kesetaraan gender yang kian mendapatkan tempat pada level kebijakan negara. Meski harus pula disadari, ruang ekspresi yang diberikan negara masih jauh dari spirit keadilan dan kesetaraan itu sendiri.
Berbagai regulasi negara menyangkut isu perempuan membuktikan bahwa konstruksi budaya politik patriarki sepanjang sejarah amat menentukan kehidupan perempuan. Sejak tahun 1960-an, gerakan feminisme yang menggeliat di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia pada dekade 1990-an, terus menggugat dasar kebijakan negara yang bias gender, mendorong peran, fungsi, dan posisi perempuan secara lebih progresif, serta memprotes berbagai kebijakan konservatif negara dan stigma masyarakat yang memarjinalisasi aspirasi, hak, dan kepentingan perempuan. Kaum feminis yang peduli pada pentingnya kesetaraan gender dalam membangun watak bangsa, menuntut perubahan yang progresif atas posisi perempuan, seperti tercermin dalam polemik isu poligami, isu kekerasan dalam rumah tangga, isu hak-hak reproduksi perempuan, atau isu peraturan daerah tentang pelacuran.
Dalam struktur sosial patriarkis, politik bukan cuma refleksi dari kekuasaan, tapi juga kerap menganalogikan entitas perempuan sebagai komodifikasi. Terkuaknya banyak kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, kekerasan atau perdagangan perempuan telah membuktikan kebenaran hipotesis bahwa kekuasaan sebagai sebuah entitas politik bisa memproduksi berbagai kebijakan dan regulasi yang irasional. Kuasa politik bukan cuma membuat para aktornya menjadi haus kuasa dan uang, akan tetapi juga predatorian.
Tantangannya lalu adalah bagaimana gerakan perempuan yang beragam ini bisa dengan cepat menangkap isu-isu yang dirasakan menjadi kepentingan bersama dan menjadi gerakan bersama. Contoh yang paling baik antara lain ketika ibu-ibu Suara Ibu Peduli menyuarakan keprihatinan mereka di Bundaran Hotel Indonesia pada tahun 1998 atas mahalnya harga kebutuhan bahan pokok. Isu tersebut dirasakan hampir semua perempuan sehingga gerakan tersebut menyuarakan kepentingan semua perempuan.
Pada tahun 1980-an, isu yang mengikat gerakan perempuan adalah membangun kesadaran politik perempuan tentang hegemoni Orde Baru terhadap perempuan, terutama ketika rezim itu mendomestikasi perempuan dengan menetapkan peran perempuan adalah pendamping suami dan bertanggung jawab terhadap generasi penerus bangsa. Isu-isu aktual seperti inilah yang harus diformulasi dari waktu ke waktu dan menjadi pengikat solidaritas gerakan perempuan. Gerakan perempuan ke depan akan menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Di dalam gerakan sendiri, pengorganisasian anggota tetap menjadi masalah karena harus berhadapan dengan persoalan budaya yang masih memandang politik adalah ranah para laki-laki sampai ke masalah administrasi organisasi seperti penggalangan dana yang sebetulnya bisa didapat dari iuran anggota. Dalam arena isu-isu pergerakan sendiri, tantangan yang harus dihadapi bukan hanya isu-isu bersifat lokal, tetapi yang terasa semakin mendesak untuk segera dihadapi adalah isu-isu yang datang dari globalisasi.
Mengapa lahirnya gerakan perempuan ini? Menurut Tati Krisnawaty, dikarenakan ada tiga sebab yaitu: 1). Perempuan sendiri merasa tertindas. 2). Perempuan merasa di nomor 2 kan (sub-ordinasi). 3). Penguatan dari ajaran agama sendiri yaitu menunjut kewajiban tetapi tidak menuntut akan hak.
Juga munculnya gerakan perempuan social perempuan di karenakan adanya sebuah kesenjangan (system budaya yang patriarki) selain penyebab diatas. Akan tetapi untuk gerakan perempuan di Indonesia yang ditentang hanyalah perbedaan kualitas antara laki-laki dan perempuan, seperti kerja rumah tangga, pengasuhan atas anak serta sexsualitas itu adalah pekerjaan perempuan masyarakat menganggapnya sedangkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara fisik maupun kodratnya diakui karena itu adalah rahmat.

Sumber Bacaan :
Diana Dewi sartika. Makalah Kebijakan public Berspektif Gender. Yang disampaikan pada forum peserta Sekolah Demokrasi Banyuasin di Palembang pada tanggal Sabtu 18 April 1009.
Tati Krisnawaty. Makalah Gerakan Perempuan Indonesia dari Gerakan Sosial Baru hingga Gerakan Global Sosial Baru. Disampaikan pada forum peserta Sekolah Demokrasi Banyuasin di Palembang. Pada tanggal 6 Juni 2009.