Sabtu, 23 Januari 2010

TEORI MAKRO SOSIOLOGI


Oleh: M.Alfaris


1.TEORI EVOLUSI
Barangkali perbincangan mengenai Marxisme sebagai ideologi politik lama-kelamaan menjadi usang. Ideologi Marxis sudah di falsifikasi oleh sejarah sendiri, persis ketika sistem sosial-politis yang mewujudkannya rontok. Bagaimana nasib teori sosial Marxis yang mendukung ideologi itu? Yang di maksud disini adalah teori materialisme sejarah yang termashur itu. Lewat tangan Engels dan para pendukung marxisme ortodoks ajaran ini menjadi sebuah pandangan dunia yang menyeluruh dan menjadi basis pengembangan ajaran Marxis. Kritik adalah istilah yang lebih tepat untuk menyingkap penggandaian-penggandaian yang keliru dari sebuah teori sosial.
Tidaklah berlebihankiranya dikatakan jika Jurgen Habermas adalah salah seorang kritikus Marx yang paling radikal mempersoalkan “inti teoretis” dari seluruh marxisme. Adalah Habermas yang melontarkan kritik mendasar terhadap pengandaian-pengandaian materialisme sejarah dan dengan memandangnya sebagai sebuah teori yang tidak tebal kritik , dia memanfaatkan tilikan-tilikan kritis teori Marx itu. Habermas meneliti materialisme sejarah sebagai sebuah teori evolusi sosial.

Kritik Atas pengandaian-Pengandaian Materialisme Sejarah
“Kerja Sosial”: Sebuah Konsep Yang Tidak Memadai
Dua konsep kunci untuk memahami materialisme sejarah, menurut Habermas adalah kerja sosial dan sejarah spesies. Marx menggarap kedua konsep ini secara brilian, tetapi filsuf ini mendasarkan teorinya dalam pengandaian-pengandaian yang tidak bisa diterima oleh Habermas. Sudah sejak awal kritik-kritiknya terhadap Marxisme ortodoks, tetapi juga terhadap Mazhab Frankfrut sendiri, Habermas membuat sebuah distingsi yang radikal mengenai praksis. Praksis adalah tindakan dasar manusia sebagai spesies. Ada dua macam praksis; kerja dan komunikasi. Kerja adalah tindakan dasar manusia terhadap alam, sedangkan komunikasi adalah tindakan dasar manusia terhadap sesamanya. Termasuk dalam dimensi kerja adalah tindakan rasional-bertujuan, entah tindakan yang dilakukan kepada alam (tindakan instrumental) ataupun kepada sesama manusia (tindakan strategis); dan termasuk dalam dimensi komunikasi adalah tindakan komunikatif. Kedua macam tindakan ini dibedakan menurut tujuannya; yang pertama untuk mencapai sukses, sedang yang kedua untuk menccapai pemahaman timbal-balik. Berdasarkan pengertian umum itu, ditegaskan Habermas bahwa kedua dimensi praksis itu tidak bisa direduksi satu sama lain.
Dalam pandangan Marx, apa yang membedakan manusia dari hewan-hewan lain adalah kerja yang diorganisaasikan secara sosial. Lewat kerja sosial itu manusia memproduksi hidupnya. Kerja sosial itulah yang disebut Marx sebagai “produksi”. Istilah ini oleh Marx tidak hanya dipahami sebagai tindakan-tindakan intrumental, yakni tindakan manusia terhadap lingkungan alamiahnya; termasuk didalamnya juga kerjasama sosial berbagai individu, maka juga tindakan sosial, tetapi tindakan sosial ini, menurut Habermas bersifat strategis, yaitu untuk mencapai sukses, seperti halnya tindakan instrumental yang dilakukan terhadap lingkungan alamiahnya. Bukan haya proses produksi yang diorganisasikan secara sosial, melainkan juga distribusi produk-produknya. Habermas berpendapat bahwa jika dalam proses produksi tindakan strategis menjadi penting, dalam distribusi hasil-hasilnya sebenarnya yang penting adalah tindakan komunikatif untuk mencapai pemahaman timbal balik melalui bahasa dalam bentuk norma-norma yang diterima bersama. Sistem yang mengatur proses kerja sosial dan distribusi dan hasil-hasilnya ini kita kenal sebagai “ekonomi”.
Habermas mempertanyakan apakah betul kerja sosial merupakan ciri yang memadai untuk cara hidup manusiawi. Habermas menerima bahwa manusia membedakan dirinya dari kera-kera besar lainnya dengan kerja sosial dan ekonomi. Misalnya, manusia membuat alat-alat perburuan (teknologi), mengadakan pembagian kerja (organisasi), dan membagi-bagi hasil buruan (distribusi). Akan tetapi, menurut Habermas, kerja sosial bukanlah satu-satunya ciri khas homosapiens. Konsep Marx ini menurut habermas tidak memadai untuk apa yang khas dalam reproduksi hidup manusiawi. Ada satu ciri lain yang juga hakiki, yaitu: kehidupan sosialnya sebagaimana tampak dalam struktur sosial kekeluargaan. Proses pembentukan kehidupan sosial ini juga berlangsung selama berjuta-juta tahun dan mengandaikan juga pembentukan interaksi yang dilakukan melalui simbol-simbol dan akhirnya bahasa.apa yang menandai struktur sosial itu adalah status dan peran. Menurut Habermas, status sudah ada pada hewan dalam bentuk kemampuan untuk mengancam, tetapi peran dihasilkan dari pengakuan intersubjektif atas harapan-harapan timbal-balik yang dijaga melalui sanksi-sanksi. Peran-peran sosial inilah yang menurut Habermas Khas manusia.
Habermas menemukan ciri komunikatif pada peran sosial. Melalui peran sosial, dua harapan tingkah laku yang berlainan dapat dihubungkan sedemikian rupa sehingga terbentuklah sebuah sistem motivasi timbal-balik. Dalam peran sosial diandaikan tiga hal: pertama, para partisipan interaktif dapat mengandaikan perspektif para partisipan lainnya, tapi juga dapat menukar kedudukannya menjadi pengamat; kedua, para partisipan interaksimemiliki ccakrawala waktu yang melampaui konsekuensi tindakan langsung; ketiga, motif-motif tindakan partisipan dikendalikan lewat mekanisme sanksi-sanksii. Menurut Habermas ketiga syarat yang mendasari peran sosial ini tak bisa dipenuhi sebelum bahasa berkembang sepenuhnya. Oleh karena itu bahasa, menurut Habermas lebih tua usianya dari pada masyarakat, seperti juga kerja.

Konsep Sejarah Spesies
Habermas berpendapat bahwa Marx mengandaikan bahwa melalui kerja sosial, pada saat yang bersamaan manusia menghasilkan hubungan-hubungan hidup atau masyarakat dan sejarah. Dengan kata lain, kerja sosial itu dihubungkan oleh Marx dengan sejarah manusia sebagai spesies.sejarah spesies itu dimengerti oleh Marx sebagai sejarah perubahan-perubahan cara-cara produksi. Apakah yang dimaksud dengan “cara-cara produksi” itu? Marx mengatakan bahwa apa yang menjadi ciri khas sebuah bentuk kehidupan sosial adalah cara produksinya. Cara produksi ini ditandai oleh tingkat perkembangan tertentu dari kekuatan-kekuatan produktif dalam bentuk teknologi, tenaga kerja, pengalaman dan pengetahuan dan oleh bentuk-bentuk hubungan sosial tertentu yang disebutnya hubungan-hubungan produksi, yaitu antara manusia sebagai pekerja. Hubungan-hubungan produksi ini merupakan institusi-institusidan mekanisme-mekanisme sosial yang memadukan tenaga kerja dengan sarana-sarana produksi. Hubungan-hubungan ini menurut marx, mencerminkan pembagian kekuasaan, maka mencerminkan struktur kepentingan sebuah masyarakat.
Pandangan materialisme sejarah itu lain dari pada pandangan evolusionistis yang mendasarinya. Evolusionisme menetapkan pertambahan kompleksitas sebagai kriteria perkembangan kearah tujuan sosial tertentu, dan Marx mengkaitkan “pembagian kerja sosial” dengan proses diferensiasi sistem dan integrasi subsistem-subsistem tertentu secara fungsional pada taraf yang lebih tinggi. Habermas berpendapat bahwa kompleksitas tak bisa dijadikan ukuran yang memadai untuk perkembangan, sebab kompleksitas adalah sebuah konsep multidimensional, tergantung dalam hal apa sebuah masyarakat disebut kompleks. Juga kompleksitas tak bisa dibedakan dari pemeliharaan-diri, sebab adakalanya kompleksitas sosial justru menyebabkan kehancuran secara evolusioner. Ide dibalik kompleksitas itu adalah evolusi organis, tetapi menurut habermas masyarakat tak bisa disamakan dengan organisme, sebab tak memiliki batas-batas yang jelas dan tegas, tak bisa diukur hanya dari kelangsungan hidup fisiknya, melainkan juga dari upaya menjaga identitas kemasyarakatan, yakni kehidupan yang secara kultural ditafsirkan sebagai “baik” dan “dapat diterima”. Menurut Habermas, Marx tidak mengukur perkembangan masyarakat menurut kompleksitasnya. Dia mengukur dengan tahap perkembangan kekuatan-kekuatan produktif dan kematangan bentuk hubungan sosial.

Dalil Superstruktur dan Dialektika Materialistis
Habermas berusaha memperlihatkan bahwa konsep kerja sosial dan sejarah spesies belum memadai untuk melihat perkembanhan masyarakat. Dengan mengetengahkan isi konsep kerja sosial, Habermas berhasil memperlihatkan bahwa materialisme sejarah adalah sebuah teori evolusi sosial dengan “paradigma kerja”. Menurut Habermas, ciri deterministis materialisme sejarah paling jelas dalam pengandaian dasar Marx sendiri yang disebut “dalil superstruktur” dan “dialektika kekuatan-kekuatan dan hubungan-hubungan produksi”.
Marx memandang ada dua segi dalam masyarakat yang bisa dibedakan secara analitis, yaitu: struktur ekonomi masyarakat yang merupakan totalitas hubungan-hubungan produksi dan struktur-struktur hukum, politis, kesadaran sosial, intelektual. Struktur ekonomi itu merupakan basis masyarakat, dan basis itu menentukan struktur-struktur hukum, politis, kesadaran, intelektual sebagai “superstruktur” masyarakat. Jadi, dari totalitas hubungan-hubungan produksi itulah, menurut marx muncul macam-macam tatanan superstruktur yang tak lebih daripada epifenomenon basis saja. Termashurlah rumus Marx tentang hubungan basis dan superstruktur itu: “bukan kesadaran manusia yang menentukan keadannya , melainkan keadaan sosialnyalah yang menentukan kesadaran mereka.
Menurut Habermas, peralihan ke bentuk-bentuk integrasi sosial yang baru- misalnya ddari sistem kekerabatan ke negara- memerlukan pengetahuan yang bersifat praktis-moral, dan bukan pengetahuan teknis yang diterjemahkan dalam tindakan rasional-bertujuan. Mengapa Habermas mengatakan ini? Karena peralihan itu bukan menyengkut perluasan kontrol teknis atas alam, melainkan menyangkut interaksi sosial. Yang bersangkutan di sini bukan produksi, melainkan sosialisasi. Untuk meneguhkan pendapat ini, Habermas menunjuk contoh masyarakat-masyarakat industri maju. Dalam masyarakat-masyarakat ini, kemajuan kekuatan-kekuatan produksi telah menghasilkan pembagian proses-proses kerja yang sangat terdiferensiasikan dan menyebabkan diferensiasi organisasi kerja di dalam industri-industri. Menurut Habermas, potensi kognitif yang terkandung dalam “sosialisasi produksi” ini tidak memiliki kesamaan struktural dengan kesadaran praktis-moral yang mendukung gerakan-gerakan sosial yang mendorong untuk merevolusi masyarakat borjuis.

Rekontruksi Habermas Tentang Evolusi Sosial
Konsep materialisme sejarah tentang rentetan perkembangan sejarah perkembangan cara-cara produksi sebetulnya mempermudah menjelaskan evolusi sosial. Menurut Habermas, konsep itu dapat menata perkembangan sejarah dalam sebuah logika perkembangan. Akan tetapi Habermas menilai konsep ini tidak memadai, sebab tidak dapat mencakup segi-segi komunikatif yang mendasari formasi sosial baru pada setiap tahap. Dimensi komunikatif masyarakat itu terdapat dalam apa yang disebut “prinsip-prinsip organisasi sosial” yang menentukan formasi sosial tertentu. Dengan prinsip-prinsip organisasi sosial, Habermas mengartikannya sebagai inovasi-inovasi yang menjadi mungkin melalui tahap-tahap proses belajar yang dapat disusun menurut logika perkembangan dan yang menginstitusionalisasikan tahap-tahap baru dari proses belajar masyarakat. Prinsip-prinsip organisasi ini menentukan dalam struktur-struktur manakah perubahan-perubahan dalam sistem-sistem institusi itu mungkin.
Habermas berpendapat bahwa prinsip-prinsip organisasi itu dapat dilihat pada inti institusional (misalnya, kekerabatan, negara, ekonomi) yang menentukan bentuk integrasi sosial yang dominan.
Habermas memanfaatkan hasil riset Piaget tentang perkembangan kesadaran moral. Psikolog ini menyebutkan tiga tahap perkembangan yang kemudian diberi penafsiran baru oleh Habermas. Menurut Habermas, pada tahap pra-adat, tindakan-tindakan, motif-motif, dan subjek-subjek tindakan berada pada tataran yang sama. Orang yang berada pada tahap ini dalam situasi konflik mengevaluasi konsekuensi-konsekuensi tindakan-tindakan langsung.pada tahap adat, dimana motif-motif dapat dipisahkan dari tindakan-tindakan, yang menjadi patokan evaluasi adalah sesuai atau tidaknya tindakan dengan peran sosial tertentu atau dengan sistem norma-norma yang ada. Pada tahap pasca-adat, evaluasi tidak diarahkan pada norma atau peran, sebab keduanya sudah kehilangan sifat memaksanya, melainkan pada pembenaran-pembenaran klaim-klaim kesahihan yang mendasar dan universal.
Tahap-tahap yang menurut Piaget berlaku pada individu ini, menurut Habermas, tampil pada taraf sistem sosial. Habermas lalu mencoba menyusun sebuah skema sementara untuk melukiskan tahapan-tahapan integrasi sosial berdasarkan teori Piaget diatas. Tahap-tahap evolusioner itu dibedakan menurut (a) struktur umum tindakan, (b) struktur pandangan-dunia sejauh menentukan moralitas dan hukum, (c) struktur hukum yang dilembagakan dan struktur penjelasan moral yang mengikat. Dan Habermas menyebut masing-masing tahap integrasi sosial itu: masyarakat-masyarakat neolitis, peradapan awal, peradapan maju, zaman modern.

(a)Pentahapan menurut Struktur-Struktur Umum Tindakan
Masyarakat Neolitis:
Sistem tindakan yang terstruktur menurut adat (kenyataan simbolis diperingkat ke dalam taraf tindakan dan taraf normal)
Peradapan Awal:
Sistem tindakan yang terstruktur menurut adat
Peradapan Maju:
Sistem tindakan yang terstruktur menurut adat
Zaman Modern:
Wilayah-wilayah tindakan yang terstruktur menurut adat


(b)Pentahapan menurut Struktur-Struktur Pandangan dunia sejauh Menentukan Moralitas dan Hukum
Masyarakat Neolitis:
Pandangan dunia mitologis masih langsung terkait dengan sistem tindakan (dengan pola adat untuk mengatasi konflik moral tindakan)
Peradapan Awal:
Pandangan dunia mitologis yang terpisah dari sistem tindakan, yang memiliki fungsi legitimasi posisi-posisi otoritas
Peradapan Maju:
Lepas dari pikiran mitologis, perkembangan pandangan dunia yang dirasionalisasikan (dengan penjelasan-penjelasan legal dan moral pasca-adat)
Zaman Modern:
Ajaran-ajaran legitimasi yang diperkembangkan secara universalistis (hukum kodrat yang bersifat rasional)


(c)Pentahapan menurut Struktur-struktur Hukum yang Terlembaga dan Penjelasan-penjelasan Moral yang Mengikat
Masyarakat Neolitis:
Pengaturan konflik dari sudut pandang pra-adat (menilai konsekuensi, pembalasan, pekeadaan awal)
Peradapan Awal:
Pengaturan konflik dari sudut pandang moralitas adat yang terkait dngan figur penguasa yang adil (evaluasi menurut intensi, tindakan, peralihan, pembalasan ke hukuman, dari tanggung jawab bersama ke individu)
Peradapan Maju:
Pengaturan konflik dari sudut pandang moralitas adat yang dilepaskan dari acuan pribadi penguasa (sistem pengaturan keadilan hukum yang tergantung tradisi tapi disistematisir)
Zaman Modern:
Pengaturan konflik dari sudut pandang pemisahan ketat legalitas dan moralitas hukum mulihan umum, formal, rasional, moralitas privat yang dibimbing prinsip-prinsip


2.TEORI SISTEM (GENERAL SYSTEM THEORY/ TALCOT PARSONS)
3.TEORI KONFLIK DAN PERUBAHAN SOSIAL
Tidak semua pemberontakan dari kelas tertindas mengarah satu revolusi yang berhasil atau reorganisasi masyarakat secara total. Apa yang menentukan berhasil tidaknya suatu kelas dalam mengubah masyarakat sesuai dengan kepentingannya yang dinyatakan secara tegas? Jawaban Marx atas pertanyaan ini terletak pada perspektifnya mengenai perubahan sejarah secara menyeluruh. Perlu diinggat bahwa perubahan-perubahan dalam alat produksi (seperti teknologi baru) mengakibatkan ketidak seimbangan antara kekuatan-kekuatan materil ini dan hubungan sosial dalam produksi (termasuk hubungan pemilikan). Hubungan sosial yang ada dalam produksi akhirnya menjadi hambatan bagi perkembangan kekuatan-kekuatan produktif dalam masyarakat untuk selanjutnya. Kelas yang di dalam kepentingannya memperoleh kemajuan karena perkembangan-perkembangan tertentu, yang terjadi dalam kekuatan-kekuatan produksi, dapat memainkan peranan yang dapat menentukan dalam menghasilkan perubahan masyarakat secara revolusioner. Karena itu, kelompok Borjuis berhasil dalam perjuangannya melawan sistem aristokrat feodal, dan karena itulah maka kelas proletar akhirnya akan berontak melawan kaum borjuis. Namun dalam kedua hal itu, kelas revolusioner berasal dari dalam kandungan struktur sosial itu, yang akhirnya diubah.
Ironi dialektik ini dapat dilihat dalam kenyataan bahwa di masa awal perubahan borjuis, proletariat yang sedang muncul membantu kelompok borjuis dalam perjuangannya melawan aristokrasi. Dengan menggerakkan kaum proletar dengan cara ini sebagai satu kekuatan politik, kaum borjuis tanpa disadari mempersiapkan kubur untuk kehancurannya sendiri. Bagaimanpun juga, keberhasilan suatu kelas yang tertindas dalam menggerakkan aksi politik revolusioner untuk meningkatkan kepentingannya, bergantung pada perkembangan kekuatan-kekuatan produksi materil yang sesuai. Tingkat perkembangan kekuatan-kekuatan materil ini menentukan apakah kelas revolusioner akan menjadi katalisator untuk menghasilkan tahap sejarah berikutnya dalam perkembangan masyarakat, atau apakah akan hanya merupakan pemberontakan yang gagal saja. Singkatnya, satu kelas revolusioner berhasil kalau dia mampu menghubungkan kepentingan kelasnya sendiri dengan tuntutan sosial masyarakat sebagai keseluruhan dalam memasuki tahap sejarah berikutnya.
Cara analisa dialektik merupakan inti model bagaimana konflik kelas mengakibatkan perubahan sosial. Umumnya analisa dialektik meliputi suatu pandangan tentang masyarakat yang terdiri dari kekuatan-kekuatan yang berlawanan yang sewaktu-waktu menjadi seimbang. Analisa dialektik peka terhadap kontradiksi internal dalam masyarakat. Memecahkan kontradiksi dengan analisa dialektik itu mempercepat munculnya tahap baru dalam sejarah. Dalam pandangan Marx, kontradiksi yang paling penting adalah antara kekuatan-kekuatan produksi materil dan hubungan-hubungan produksi, dan antara kepentingan-kepentingan kelas yang berbeda. Karena kontradiksi-kontradiksi inilah, setiap tahap sejarah dalam perkembangan masyarakat dapat dilihat sebagai tahap yang mempersiapkan jalan untuk kehancuran akhirnya sendiri, dengan masing-masing tahap baru yang menolak tahap sebelumnya dimana secara paradoksal memasuki awalnya.
Perkembangan tahap sejarah tertentu bergantung pada munculnya kekuatan-kekuatan yang akhirnya tidak dapat tertampung dalam struktur dimana mereka muncul. Karena kekuatan-kekuatan sosial ini berkembang, mereka akhirnya meledak keluar dari suatu struktur di mana mereka muncul pada mulanya; dalam proses itu, kekuatan-kekuatan sosial itu mengubah struktur itu menjadi struktur baru secara radikal yang terlihat dalam tahap sejarah berikutnya. Kelas-kelas sosial yang memperlihatkan kekuatan-kekuatan baru yang muncul, ditentukan secara historis untuk berhasil dalam mengubah struktur yang ada begitu mereka menyatakan dengan tegas kepentingan kelas mereka.
Namun gerak sejarah yang bersifat dialektik itu tidak terlepas dari kemauan atau usaha manusia. Marx tidak mengemukakan suatu pandangan sejarah dimana individu hanya bersifat pasif belaka. Manusialah yang menciptakan sejarahnya sendiri, meskipun kegiatan kreatifnya ditentukan dan terikat oleh lingkungan materil dan sosial yang ada. Meskipun orang membuat sejarahnya sendiri, ia tidak dapat membuat sesuka hatinya. Marx berulangkali mempertahankan pendiriannya terhadap masalah ini dalam pertentangannya melawan sosialis utopis yang amengasumsikan bahwa mereka secara praktis dapat merancangkan tipe masyarakat apa saja yang dipilihnya, tanpa memperhatikan kondisi materil dan kondisi sosial.
Karir Marx sendiri secara pasti memperlihatkan keengganannya untuk percaya pada kekuatan-kekuatan dialektis impersonal dalam sejarah yang melahirkan jenis perubahan sosial seperti yang dibayangkannya. Marx adalah seorang yang aktif, dan meskipun tulisan analitisnya mengemukakan proses-proses sejarah umumnya berkembang menurut dinamikanya sendiri secara impersonal, tulisan-tulisan politiknya seperti The Communist Manifesto benar-benar merupakan satu ajakan untuk mengangkat senjata. Khususnya dia mendesak kelas buruh untuk mempergunakan momen yang tepat dalam sejarah yang ditimbulkan oleh munculnya krisis ekonomi, untuk mengubah masyarakat melalui kegiatan revolusioner mereka sendiri.
Munculnya krisis ekonomi dalam sistem kapitalis dipergunakan Marx untuk menjelaskan bahwa kontradiksi-kontradiksi internal dalam kapitalisme akan mencapai puncak gawatnya dan bahwa sudah tiba waktunya yang tepat bagi kaum proletar untuk melancarkan suatu revolusi yang berhasil. Sebaliknya selama masa-masa jaya, Marx merasa bahwa sistem kapitalis benar-benar memiliki potensi untuk terus berkembang dan karena itu tidak dapat dihancurkan segera. Dalam keadaan tidak adanya kemungkinan-kemungkinan yang realistis untuk suatu revolusi yang berhasil, kegiatan politik dapat mengambil bentuk untuk mengorganisasi kelas pekerja.
Teori Marx sudah dipaparkan sebagai contoh utama suatu teori yang terutama berhubungan dengan tingkat struktur sosial tentang kenyataan sosial, dan yang menekankan saling ketergantungan yang tinggi antara struktur sosial dan kondisi materil dimana individu harus menyesuaikan dirinya supaya tetap hidup dan memenuhi berbagai kehidupannya. Tekanan pada perlunya menyesuaikan diri dengan lingkungan materil dan pada langkanya sumber-sumber yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan dan keinginan manusia, merupakan satu catatan yang penting mengenai realisme praktis dalam analisa teoretisnya.
Hubungan antara individu dan lingkungan materilnya dijembatani melalui struktur ekonomi masyarakat. Marx mungkin terlampaui menekankan masalah pengaruh ekonomi yang menentukan sistem sosio-budaya lainnya, tetapi pentingnya ekonomi itu sebagai dasar utama struktur sosial umumnya diakui saat ini, walaupun hubungan antara ekonomi dan institusi-institusi lainnya mungkin lebih bermacam-macam dan lebih rumit daripada yang diperlihatkan.
Struktur internal sistem ekonomi itu terdiri dari kelas-kelas sosial yang muncul dari perbedaan dalam kesempatan memiliki alat produksi serta ketidak sesuaian yang dihasilkannya dalam kepentingan ekonomi. Hubungan sosial antara kelas-kelas yang bertentangan itu ditandai oleh konflik sosial dan politik pada waktu-waktu tertentuyang mengakibatkan tekanan internal untuk perubahan. Penekanan pada kelas sosial sebagai kategori dasar struktur sosial, pada tidak meratanya sumber-sumber ekonomi, pada kepentingan-kepentingan yang tidak bersesuaian, pada konflik sebagai proses sosial yang paling menyeluruh, serta pada perubahan sosial yang lahir dari tekanan-tekanan kekuatan-kekuatan internal, merupakan elemen-elemen kunci dalam perspektif-perspektif masa kini, yang dilihat umumnya sebagai teori konflik.
Tekanan Marx pada bagaimana ideologi dan aspek lainnya dalam kebudayaan memperkuat struktur sosial dan struktur ekonomi, dengan memberikan legitimasi pada kelompok-kelompok yang dominan, merupakan satu proposisi penting yang ditekankan dalam bidang sosiologi pengetahuan pada masa kini. Mannheim, misalnya, seorang dari tokoh penting dalam perkembangan sosiologi pengetahuan menekankan pendiriannya bahwa ideologi-ideologi dikembangkan dan digunakan untuk melindungi dan meningkatkan kepentingan berbagai kelompok dalam masyarakat.
Juga pandangan Marx mengenai hubungan antara kegiatan manusia dan produk kegiatan ini merupakan satu elemen penting dalam pendekatan masa kini, yang dikembangkan oleh Berger dan Luckmann, yang dikenal sebagai perspektif “kontruksi sosial tentang kenyataan”. Marx, Berger, dan Luckmann mengemukakan bahwa walaupun individu menyatakan kodrat manusianya dalam kegiatan kreatifnya, hasil dari kegiatannya ini memiliki sifat kenyataan obyektif; individu harus menyesuaikan dirinya. Bagi Marx kenyataan obyektif ini diciptakan oleh manusia, lalu mengkonfrontasikan manusia yang menciptakannya itu, sebagai satu kenyataan yang asing yang membatasi dan mengikat tindakan selanjutnya dan kepadanya mereka menghamba. Teori alienasi Marx didasarkan pada pikiran ini. Pendekatan-pendekatan sosiologi masa kini yang berhubungan dengan sosiologi humanistis atau sosiologi kritis, banyak mengambil dari teori aliensi Marx dalam usaha mereka untuk menciptakan suatu pespektif sosiologi yang berpusat di sekitar kebutuhan dan kemampuan manusia, dan yang dapat digunakan untuk mengkritik struktur sosial yang merendahkan martabat manusia atau memperbudak manusia atau mencegah perkembangan mereka seutuhnya.
Marxisme dan pendekatan teoritis lainnya yang menekankan proses konflik umumnya dilihat sebagai bertentangan dengan teori fungsional. Tentang in I dapat kita catat bahwa pendekatan fungsional menekankan konsensus nilai dan keharmonisan daripada konflik dalam masyarakat. Namun asumsi dasar Marx mengenai saling ketergantungan antara berbagai berbagai institusi dalam masyarakat juga ditekankan dalam fungsionalisme, seperti pandangannya mengenai pentingnya hasil tindakan yang tidak dimaksudkan yang sebenarnya bertentangan dengan hasil yang diharapkan. Satu contoh tentang ini dapat dilihat dalam pengaruh-pengaruh yang tidak diharapkan dari investasi kapitalis dalam permesinan yang dimaksudkan untuk meningkatkan keuntungan tetapi secara tidak disengaja mempercepat krisis ekonomi.
Dalam seluruh penilaian kita mengenai perspektif teoretis marx, penting untuk mengingat bahwa Marx bukan seorang akademisi yang obyektif, melainkan sebagai seorang aktivis politik yang sangat terlibat. Karena itulah secara langsung dia mengalami konflik dengan struktur kekuasaan politik dan ada dalam situasi ekonomi yang tidak menentu. Pola karir dan gaya hidup yang berhubungan dengan itu, pasti ikut menentukan apa yang Marx lihat sebagai sifat utama yang penting dari kenyataan sosial.


TEORI MIKRO SOSIOLOGI


1.INTERAKSIONALISME
Georg Simmel merupakan ahli teori klasik terkemuka yang mempelajari proses interaksi di tingkat mikro. Comte menekankan tingkat budaya dalam kenyataan sosial, khususnya tahap-tahap perkembangan intelektual. Marx dan Durkheim memusatkan perhatiannya pada tingkat struktur sosial, meskipun keduanya berbeda secara substansial dalam tekanan utamanya. Gambaran dasar Weber mengenai kenyataan sosial menekankan individu dan tindakan sosial yang berarti secara subjektif; namun analisa substansinya sangat banyak berhubungan dengan tingkat struktur sosial dan budaya, termasuk pola-pola perubahan sejarah yang penting.
Tetapi Simmel menekankan tingkat kenyataan sosial yang bersifat antar pribadi (interpersonal), karena dia yakin bahwa perkembangan sosiologi sebagai suatu disiplin tersendiri menuntut pengendalian terhadap dua pandangan yang saling bertentangan, yakni antara realisme dan nominalisme, yang dapat menjembatani keduanya. Posisi realis (seperti tercermin dalam Durkheim) menekankan bahwa struktur sosial memiliki eksistensinya sendiri yang riil dan objektif, terlepas dari individu yang mungkin kebetulan terlibat didalamnya. Jadi masyarakat membentuk suatu keseluruhan yang lebih besar dari pada jumlah bagian-bagiannya. Sebaliknya, posisi nominalis (tercermin dalam definisi Weber mengenai sosiologi) menekankan bahwa individulah yang riil secara objektif dan bahwa masyarakat tidak lain daripada suatu kumpulan individu dan prilakunya.
Posisi Simmel yang berada di antara kedua ekstrim tersebut melihat bahwa masyarakat lebih daripada hanya sekedar suatu kumpulan individu dan pola prilakunya; namun masyarakat tidak independen dari individu yang membentuknya. Sebaliknya, masyarakat menunjuk pada pola-pola interaksi timbal-balik antar individu. Pola-pola seperti itu bisa menjadi sangat kompleks dalam suatu masyarakat yang besar dan bisa kelihatan sangat riil secara objektif pada individu. Tetapi, tanpa pola interaksi yang kecil sifatnya, perspektifnya dapat juga diperluas ke institusi sosial yang lebih besar.
Gambaran tentang hakikat kenyataan sosial ini menunjukkan bahwa masyarakat lebih daripada jumlah individu yang membentuknya. Tambahan pula ada pola interaksi timbal-balik di mana mereka saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Dalam hal ini “masyarakat” (atau tingkat “sosietalisasi”) yang muncul akan sangat rapuh dan sementara sifatnya, di mana ikatan-ikatan interaksi timbal-baliknya itu bersifat sementara saja. Proses sosiasi sangatlah bermacam-macam, mulai dari pertemuan sepintas lalu antara orang-orang asing ditempat-tempat umum sampai keikatan persahabatan yang lama dan intim atau hubungan keluarga. Tanpa melihat tingkat variasinya, proses sosiasi ini mengubah suatu kumpulan individu saja menjadi suatu masyarakat (atau kelompok atau asosiasi). Masyarakat ada pada tingkatan tertentu di mana dan apabila sejumlah individu terjalin melalui interaksi dan saling mempengaruhi.

2.DEFINISION OF SITUATION
Pelopor sosiolog Amerika W.I. Thomas menunjukkan bahwa caranya seorang individu mendefinisikan situasi menjadi dasar dari cara-cara ia bertindak dalam situasi tertentu. Berbagai macam tindakan akan dapat dijelaskan jika kita mampu memahami cara-cara orang bersangkutan mendefinisikan situasi. Sebagai contoh, seorang dosen akan merasa jengkel ketika ia menyadari bahwa karangan mahasiswa yang sedang ia periksa benar-benar jiplakan dari sebuah buku; kemalasan, penipuan atau penghinaan terhadap nilai-nilai akademis dianggapnya sebagai penyebabnya. Akan tetapi pengertian terhadap definisi situasi mahasiswa akan membawa pada kesimpulan yang agak berbeda. Karena mahasiswa itu mungkin mendefinisikan studi akademis sebagai mempelajari apa yang telah diberikan oleh suatu tokoh dalam disiplin ilmu yang bersangkutan, maka ia beranggapan penulisan karangan adalah sebagai reproduksi dari penjelasan sang tokoh tersebut. Bagaimana mungkin ia dapat meningkatkan mutu xdari karya yang telah dihasilkan oleh tokoh tersebut? Maka jika suatu bagian dari buku itu isi dan panjangnya cukup untuk sebuah karangan, mengapa tidak menjiplaknya saja/ sama sekali tidak untuk memperlihatkan penghinaan terhadap nilai-nilai akademis, bahkan sebaliknya si mahasiswa percaya bahwa seluruh tindakannya konsisten dengan nilai-nilai akademis sebagaimana ia memahaminya. Tindakan-tindakannya konsisten dengan definisi situasinya, dan ia percaya bahwa definisinya sama dengan dosennya, karena definisinya tersebutsebagian berasal dari dosen-dosennya.
Fokus sosiolog dalam mempelajari definisi situasi ini langsung ditujukan pada aspek individual. Adalah individu sebagai anggota masyarakat yang memformulasikan penafsirannya sendiri tentang peristiwa dan tindakan-tindakan orang lain dan individu inilah yang mendefinisikan situasi. Sudah tentu ia melakukannya tidak dalam situasi suatu kehampaan sosial, karena ia akan selalu dipengaruhi norma-norma dalam rangka mendefinisikan elemen-elemen situasi dan mengevaluasinya. Maka dalam analisa terakhir munculnya definisi tergantung pada penafsiran dan pengertian dari si individu. Bahkan pengaruh norma sosial sekalipun akan tergantung pada penafsiran individu itu sendiri terhadap norma-norma tersebut.
Kehidupan sosial nampaknya tergantung pada kesepakatan orang banyak dalam membuat definisi situasi, dan tanpa itu hubungan sosial tidak akan dimungkinkan. Dalam berkomunikasi dengan orang lain kita harus berasumsi bahwa pandangan mereka tentang situasi mirip dengan pandangan kita, paling tidak pada hal-hal yang hakiki. Suatu alasan mengapa orang sering mengabaikan hal-hal yang tidak konsisten dengan definisi situasi adalah karena mengungkapkan sesuatu tindakan yang tidak pada tempatnya akan memalukan bagi semua orang. Lebih baik memakan saja kue manis yang tercampur garam dari pada mengatakan kesalahan itu pada tuan rumah di depan umum. Erving Gofman menggambarkan suatu proses dimana penampilan-penampilan dimanipulasi sedemikian rupa sehingga semua nampak sebagai sesuatu yang normal.
Suatu contoh ekstrim, seorang yang berada dijalan raya mengamati sekumpulan individu yang kelihatannya saling tidak punya hubungan satu sama lain masing-masing menjalankan kegiatan normal sehari-hari. Nyatanya mereka adalah suatu komplotan besar yang sengaja berkumpul untuk memberi kesan pada orang banyak bahwa segalanya berjalan dalam keadaan normal.
Peter Mc. Hughes telah menggambarkan dua elemen umum dalam definisi situasi, yaitu “relativita (relativity)” dan “emergence”. Relativita mengacu pada asumsi kita tentang hubungan khusus antara komponen-komponen dalam suatu situasi. Dalam ruang operasi misalnya, kita mengasumsikan bahwa alat-alat teknologi yang rumit disekitar kita adalah alat-alat yang digunakan untuk praktek medis, walaupun kita tidak yakin, apa guna dari alat yang ada. Bila kita merasa curiga dan mulai mempertanyakan asumsi tadi, kemungkinan yang terjadi adalah bahwa alat-alat itu kita anggap tidak berhubungan dengan praktek medis tetapi dengan suatu penipuan atau bahkan spionase: mungkin kita juga dapat mengasumsikan bahwa alat-alat itu diciptakan untuk mengorek informasi dengan cara menyiksa korban yang tertangkap.
“Emergence” mengacu pada unsur waktu dalam definisi situasi, makna dari suatu situasi dalam hubungannya dengan masa lalu dan masa depan. Definisi tentang situasi masa kini tergantung pada pengertian kita terhadap situasi-situasi, yang berhubungan , yang terjadi lebih dahulu, dan akibat dari situasi tersebut terhadap peristiwa yang akan datang.
Makna dari pernyataan W.I. Thomas: “jika manusia mendefinisikan situasi-situasi sebagai sesuatu yang nyata makaia akan benar-benar menjadi nyata”. Adalah berdasarkan pada kenyataan bahwa tindakan manusia tergantung pada caranya mendefinisikan situasi. Orang menanggapi apa yang dilihatnya sebagai kenyataan dari situasi yang ada, tidak peduli apakah persepsinya itu benar. Menurut merton, “self fulfilling prophecy” adalah suatu definisi yang salah yang akhirnya menimbulkan tingkah laku yang menjadikan definisikan itu benar. Akan tetapi pembedaan yang teliti dari definisi yang salah atau yang benar sulit diterapkan dalam praktek. Seorang sosiolog mungkin akan lebih yakin dalam menentukan salah satu salah satu betulnya definisi dari suatu situasi dengan membandingkan definisi yang obyektif dengan definisi orang lain yang subyektif, walaupun bisa terjadi kesalahan. Obyektifitas dalam sosiologi tidak berdasarkan pada usaha penilaian yang obyektif terhadap kenyataan sosial untuk menggantikan teori-teori atau persepsi yang subyektif, akan tetapi berdasarkan usaha mendefinisikan kenyataan sosial melalui analisa pengertian tentang cara seseorang mengkonstruksikan dunia sosialnya. Inilah sebabnya mengapa “definisi situasi” adalah konsep yang penting dalam sosiologi.
Dalam menekankan sifat subjektif dari definisi situasi, dan dalam menantang ide tentang pandangan obyektif para ilmuwan sebagai pengamat, kita telah memperkenalkan adanya gagasan bahwa kenyataan sosial selalu didefinisikan melalui hubungan sosial dan dipahami dalam kerangka definisi situasi yang subjektif. Setiap definisi selalu bersifat subjektif, dan dengan demikian perbedaan antara penafsiran subjektif dan objektif tentang kenyataan antara pandangan dari “dalam” dan dari “luar” hanyalah bersifat relatif, dan bahkan bisa menyesatkan.
Suatu sebab mengapa sulit untuk menilai betul atau salahnya suatu definisi situasi adalah karena definisi itu mencakup elemen faktual dan moral yang tidak begitu mudah untuk dibedakan. Orang yang sangat berkuasa mampu mempengaruhi orang lain untuk menerima definisi situasi dari seorang ahli yang sangat berpengaruh sekalipun harus disetujui dahulu oleh penguasa. Dengan demikian kita dapat menghubungkan konsep definisi situasi dengan perspektif “kekuasaan dan konflik”. Dan pada tingkat tertentu seorang sosiolog dipaksa untuk mengambil titik tolak yang radikal sejauh analisanya dapat mempengaruhi definisi situasi tentang kenyataan sosial yang telah mapan dan berpengaruh.
Pandangan subjektif yang menunjukkan pada kita bahwa kenyataan kehidupan sosial adalah hasil penafiran, dan imajinasi dari anggota masyarakat tentang kehidupan sosial itu sendiri. Tetapi sebaliknya definisi-definisi, penafsiran dan imajinasi ini adalah hasil dari kehidupan sosial, dan distribusi kekuasaan. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu hubungan konseptual yang menghubungkan definisi situasi dengan struktur masyarakat.


3.SOCIOLOGY CONTRUCTION OF REALITY
Suatu teori yang baik dapat membantu kita untuk memahami fakta, menjelaskan dan memberikan ramalan yang valid, hal ini sangat perlu dalam suatu perencanaan untuk masa yang akan datang, baik yang berhubungan dengan kehidupan pribadi kita sendiri maupun yang berhubungan dengan perencanaan kebijaksanaan umum.
Pengaruh dari pengalaman-pengalaman sosial individu atau dari pengalaman intelektualnya pada orientasi terhadap lingkungan sosial sangatlah dipengaruhi oleh perspektif Berger dan Luckmann mengenai konstruksi sosial tentang kenyataan. Berger dan Luckmann menekankan bahwa sistem-sistem sosial dan pandangan-pandangan hidupnya diciptakan dan dipertahankan secara sosial, tidak didasarkan pada suatu kenyataan akhir atau absolut. Tetapi dalam suatu masyarakat yang sangat stabil yang memiliki satu pandangan hidup budaya yang dominan, orang mengalami kenyataan sosial di mana mereka termasuk, dan yang pandangan hidupnya memberikan pembenaran atau legitimasi, sebagai sesuatu yang didasarkan pada suatu kenyataan absolut dan tidak berubah-ubah, yang terlepas dari kepercayaan-kepercayaan dan ide-ide budayanya. Sebaliknya, dalam masyarakat-masyarakat yang lebih mudah berubah-ubah atau yang bersifat pluralistik dalam struktur sosial atau ide-ide budayanya, pandangan hidup yang monolitis dan tidak berubah-ubah itu tidak bisa diterima. Di sana banyak sekali berkembang pandangan-pandangan hidup yang bersifat kompetitif dan pola-pola budaya, yang masing-masing didasarkan pada definisi-definisi sosial yang memperlihatkan alternatif atau kepercayaan-kepercayaan di mana orang harus mengadakan pilihan dari antaranya.
Perspektif Berger dan luckmann membantu kita untuk memahami distingsi antara lingkungan-lingkungan sosial yang mendorong terjadinya refleksi yang sadar akan bentuk-bentuk sosial dan bentuk-bentuk budaya, dan lingkungan-lingkungan sosial yang mendorong diterimanya bentuk-bentuk ini secara pasif dan tidak reflektif. Ini sesuai dengan anggapan bahwa berteori yang didasarkan pada sadar diri akan kenyataan sosial akan lebih lazim terjadi dalam lingkungan sosial yang terbuka dan pluralistis.
Ringkasnya, kita semua berteori dalam proses menciptakan atau mempertahankan kenyataan sosial, meskipun mungkin kita tidak menganggap diri kita sendiri sebagai ahli teori sosial. Sebagai manusia, kita melihat apa yang ada dibelakang pengalaman langsung atau fakta dari situasi kita sendiri dengan maksud untuk menginterpretasi, menjelaskan, meramal, dan merencanakan kehidupan kita sehari-hari.
Kesadaran kita akan asumsi-asumsi teoritis yang kita miliki, dan akan sifatnya yang tidak sempurna dan diciptakan dalam kehidupan sosial, mungkin akan ditimbulkan oleh pengalaman apa saja dan di mana kebiasaan-kebiasaan yang mapan menjadi tidak sesuai atau tidak relevan dan harus diubah, atau di mana kita dipaksa untuk membenarkan atau mempertahankan asumsi-asumsi ini, atau membuat pilihan-pilihan yang tidak biasa di antara alternatif-alternatif. Beberapa pengalaman yang demikian itu sudah kita tunjukkan: mobilitas atau terbukanya lintas budaya di mana wawasan pengalaman sosial seseorang itu diperluas; perubahan pesat yang sering kali menuntut pilihan yang sadar akan suatu tipe yang tidak tercakup dalam tradisi yang sudah mapan; dan marjinalitas yang sering kali mengakibatkan orang mengambil jarak tertentu terhadap kebiasaan dan kepercayaan tertentu.

4.STRUKTURALISM



TEORI MESO SOSIOLOGI


1.MAKRO – MIKRO LINKAGE
2.ORGANIZATION
Dimensi komunikatif masyarakat itu terdapat dalam apa yang disebut “prinsip-prinsip organisasi sosial” yang menentukan formasi sosial tertentu. Dengan prinsip-prinsip organisasi sosial, Habermas mengartikannya sebagai inovasi-inovasi yang menjadi mungkin melalui tahap-tahap proses belajar yang dapat disusun menurut logika perkembangan dan yang menginstitusionalisasikan tahap-tahap baru dari proses belajar masyarakat. Prinsip-prinsip organisasi ini menentukan dalam struktur-struktur manakah perubahan-perubahan dalam sistem-sistem institusi itu mungkin. Sejauh manakah kemampuan-kemampuan kekuatan-kekuatan produksi yang ada dipakai masyarakat dan sejauh mana perkembangan kekuatan-kekuatan produksi baru bisa dirangsang; dan sejauh manakah kompleksitas sistem dan hasil-hasil adaptasi sistem ditingkatkan. Suatu prinsip organisasi terdiri dari aturan-aturan yang sangat abstrak, sehingga dalam formasi sosial yang ditentukannya sejumlah cara produksi yang secara fungsional sama menjadi mungkin.
Habermas berpendapat bahwa prinsip-prinsip organisasi itu dapat dilihat pada inti institusional (misalnya: kekerabatan, negara, ekonomi) yang menentukan bentuk integrasi sosial yang dominan. Prinsip-prinsip organisasi inilah yang menurutnya menentukan bentuk-bentuk integrasi sosial itu. Prinsip-prinsip organisasi ini berkaitan dengan tindakan-tindakan sosial, lebih khusus lagi kompetensi tindakan. Habermas berpendapat bahwa proses belajar masyarakat secara evolusioner tergantung pada kompetensi individu-individu yang menjadi anggotanya. Kompetensi itu dikembangkan bukan secara individual dan terisolasi, melainkan lewat interaksi sosial dengan dengan medium struktur-struktur simbolis yang berasal dari dunia kehidupan mereka.
Otoritas legal-rasional diwujudkan dalam organisasi birokratis. Analisa Weber yang sangat terkenal mengenai organisasi birokrasi berbeda dengan sikap yang umumnya terdapat pada masa kini yang memusatkan perhatiannya pada birokrasi yang tidak efisien, boros, dan nampaknya tidak rasional lagi. Sebaliknya, dalam membandingkan birokrasi dengan bentuk-bentuk administrasi tradisional kuno yang didasarkan pada keluarga besar dan hubungan pribadi, Weber melihat birokrasi modern sebagai satu bentuk organisasi sosial yang paling efisien, sistematis dan dapat diramalkan. Seperti yang dilihatnya langsung dalam masyarakatnya sendiri, yang dikuasai ketika sedang berada di bawah birokrasi militer dan birokrasi politik dan ia melihat perkembangan sistem administrasi industri dan administrasi politik nasional di negara-negara Barat lainnya, dia mendapat kesan bahwa perkembangan dunia modern ditandai oleh semakin besarnya pengaruhbirokrasi.
Administrasi birokrasi pada dasarnya terdiri dari penerapan peraturan-peraturan umum terus menerus secara rutin terhadap hal-hal khusus oleh para pegawai yang bekerja menurut kemampuan dan wewenang resminya, dan yang menggunakan otoritas untuk tujuan ini serta sumber-sumber lainnya yang secara khusus diperuntukkan untuk tujuan ini, dengan suatu catatan mengenai apa yang harus dibuat. Keunggulan bentuk organisasi ini sudah jelas.
Satu alasan pokok mengapa bentuk organisasi birokratis itu memiliki efisiensi adalah karena organisasi itu memiliki cara yang secara sistematis menghubungkan kepentingan individu dan tenaga pendorong dengan pelaksanaan fungsi-fungsi organisasi. Hal ini dijamin oleh kenyataan bahwa pelaksanaan fungsi organisasi yang sudah diatur secara khusus menjadi kegiatan yang utama bagi pekerjaan pegawai birokrasi; sebagai imbalan pelaksanaan fungsi yang dipercayakan itu, pegawai menerima gaji dan kesempatan kenaikan pangkat dalam karirnya itu.
Weber mengadakan pembedaan yang kontras antara pegawai birokrasi penuh dengan pelaksanaan tugas organisasi yang terus-menerus serta sistematis, dan mereka yang posisinya hanyalah part-time, honorer, atau suka rela saja. Seseorang yang berpengalaman dalam usaha untuk mengangkat dan memberikan motivasi kepada para anggota organisasi suka rela dapat mengerti kesulitan mempertahankan fungsi organisasi secara sistematis dengan dasar sukarela. Kesulitan yang sama akan dialami apabila posisi organisasi bersifat honorer saja. Misalnya, banyak sekali istri atau suami pejabat yang menjadi ketua kehormatan untuk organisasi itu dan itu. Alasan lain mengapa organisasi birokrasi itu sangat efisien adalah karena adanya alasan pemisahan yang tegas dan sistematis antara apa yang bersifat pribadi, seperti emosi, perasaan, hubungan sosial pribadi, dan apa yang birokratis.

3.TEORI dan METODOLOGI

1 komentar:

Anonim mengatakan...

SALAM DEMOKRASI!!
thx mas postingannya.

mau minta tolong nih, saya pernah dengar waktu SMA, teori yang mengatakan bahwa masyarakat itu perilakunya ditentukan oleh kondisi goegrafis lingkungannya. misal, kalau lingkungannya panas, maka masyarakatnya cenderung berperilaku kasar. jika lingkungannya dingin, adem, ayem, maka perilaku masyarakatnya juga kalem, dsb..

itu teorinya siapa ya mas? dan nama teorinya & isinya secara persis itu apa ya mas?

Tolong kalau tahu kirim ke email saya:
halallaperong@ymail.com

TERIMAKASIHH :)