Sabtu, 23 Januari 2010

KAPITA SELEKTA SOSIOLOGI



Oleh:M.Alfaris


ANTHONY GIDDENS

Giddens adalah teoritisi sosial inggris masa kini yang sangat penting dan salah seorang dari sedikit teoritisi yang sangat berpengaruh di dunia. Giddens lahir 18 Januari 1938. ia belajar di universitas Hull, di The London School of Economic, dan di Universitas London. Tahun 1961 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Leicester. Karya awalnya bersifat empiris dan memusatkan perhatian pada masalah bunuh diri. Tahun 1969, ia beralih jabatan menjadi dosen sosiologi di Universitas Cambridedan sebagai anggota King’s college. Dalam karya-karyanya itu selangkah demi selangkah ia mulai membangun perspektif teoritisnya sendiri, yang terkenal dengan teori strukturasi. Tahun 1984 karya Giddens mencapai puncaknya dengan terbitnya buku the constitution of society outline of the theory of society, yang merupakan pernyataan tunggal terpenting tentang perspektif teori Giddens.
Modernitas memperoleh dinamisnya melalui tiga aspek penting teori strukturasi Giddens: pertama pemisahan waktu dan ruang atau distanciation (meski proses yang makin memisah ini tidak unilinier, tetapi bersifat dialektik). Dalam masyarakat pramodern, waktu selalu dikaitkan dengan ruang dan ukurannya dan kaitan erat antara waktu dan ruang diputus. Dalam hal ini baik waktu maupun ruang “dikosongkan” dari isinya; tak ada waktu dan ruang khusus yang istimewa; keduanya menjadi bentuk yang murni. Dalam masyarakat pramodern, ruang umumnya ditentukan oleh kehadiran secara fisik dan karena itu ditentukan oleh ruang yang lokalisir. Dengan datangnya modernitas, ruang makin lama makin dilepas dari tempat. Berhubungan dengan orang yang berjauhan jarak fisik makin lama makin besar peluangnya. Menurut Giddens, tempat semakin menjadi “phantasmagoric”, artinya, tempat terjadi peristiwa sepenuhnya ditembus dan ditentukan oleh pengaruh sosial yang jauh jaraknya dari tempat terjadinya peristiwa.
Ciri dinamis modernitas yang kedua adalah kepercayaan, yang sangat penting dalam masyarakat modern dipengaruhi oleh sistem abstrak dan oleh pemisah ruang waktu yang sangat besar. Kebutuhan akan kepercayaan dihubungkan dengan pemisahan ruang-waktu ini: “kita tak perlu mempercayai seseorang yang terus menerus kelihatan dan yang aktifitasnya dapat dimonitor secara langsung”. Kepercayaan menjadi perlu bila kita tidak lagi mempunyai informasi lengkap tentang fenomena sosial. Kepercayaan didefinisikan “sebagai kepercayaan terhadap keandalan (reliability) seseorang atau sistem berkenaan dengan sekumpulan kejadian atau hasil tertentu dan kepercayaan itu menyatakan keyakinan terhadap kejujuran atas kecintaan orang lain atau terhadap kebenaran prinsip-prinsip abstrak (pengetahuan teknis). Kepercayaan sangat besar perannya tak hanya dalam masyarakat modern pada umumnya, tetapi juga terhadap tanda simbolik dan sistem keahlian yang membantu memisahkan kehidupan dalam dunia modern. Sebagai contoh, agar ekonomi uang dan sistem hukum berfungsi , orang harus mempunyai kepercayaan terhadapnya.
Ciri dinamis ketiga modernitas adalah refleksivitasnya. Meski refleksivitas adalah gambaran fundamental dari teori strukturasi Giddens (maupun kehidupan manusia menurut pandangannya) namun dalam modernitas refleksivitas mempunyai arti khusus, dimana “praktik sosial terus menerus diuji dan di ubah berdasarkan informasi yang baru masuk yang paling praktis, dan dengan demikian mengubah ciri modernitas itu”.
Karakteristik keterpisahan kehidupan modern menimbulkan sejumlah masalah tersendiri. Orang perlu mempercayai sistem abstrak pada umumnya Dan sistem keahlian pada khususnya. Apa yang telah terjadi? Mengapa kita menderita akibat negatif di dalam panser modernitas? Giddens mengemukakan beberapa alasan, pertama, karena kessalahan rencana dalam dunia modern; orang yang merencanakan unsur-unsur dunia modern membuat kesalahan. Kedua, adalah kegagalan operatornya, masalahnya bukan berasal dari perencanaan , tetapi dari mereka yang menjalankan dunia modern. Namun Giddens memberikan peran utama pada dua faktor lain akibat tak diharapkan dan refleksitas pengetahuan sosial. Artinya, konsekuensi dari tindakan untuk sebuah sistem tak pernah dapat diramalkan sepenuhnya dan pengetahuan baru terus-menerus memberangkatkan sistem menuju kearah baru.
Dengan mengemukakan pandangannya tentang modernitas seperti itu, lalu bagaimana pendiriannya tentang post-modern? Ia menolak sebagian besar pendirian yang biasa kita kaitkan dengan post-modernisme. Sebagai contoh, bagian pemikiran post-modernisme yang menyatakan tak mungkinnya menciptakan pengetahuan sistematis, dikatakan Giddens bahwa pandangan seperti itu membawa kita kepada “penolakan aktivitas intelektual sama sekali”. Meski ia melihat kita hidup di era yang sangat modern, Giddens yakin ada peluang kini untuk mendapat pandangan selintas tentang post-modern. menurut pandangan Giddens, kehidupan post-modern itu akan ditandai oleh teratasinya kelangkaan sistem, makin meningkatnya demokratisasi, demiliterisasi, dan memanusiakan teknologi.

Modernitas dan Identitas
Transformasi dalam identitas diri dan globalisasi adalah dua kutub dialektika kondisi lokal dan global modernitas. Perubahan aspek keintiman kehidupan pribadi berkaitan langsung dengan kemapanan hubungan sosial yang paling luas cakupannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia “diri” dan “masyarakat” saling berkaitan dalam lingkungan global.
Giddens mendefinisikan dunia modern sebagai dunia refleksi dan ia menyatakan “refleksivitas modernitas meluas hingga ke inti diri, kedirian menjadi sebuah proyek refleksif”. Artinya, diri menjadi sesuatu yang direfleksikan, diubah, dan dibentuk. Tak hanya individu bertanggung jawab untuk menciptakan dan memelihara kedirian, tetapi tanggung jawab ini pun berlanjut dan mencakup semuanya. Diri adalah produk dari eksplorasi dan produk dari perkembangan hubungan sosial yang intim. Dalam kehidupan modern, bahkan tubuh “tertarik ke dalam organisasi refleksif kehidupan sosial”. Kita tak hanya bertanggung jawab merencanakan diri kita sendiri, tetapi juga tubuh kita.
Dunia modern menimbulkan “keterasingan pengalaman” atau roses yang berkaitan dengan penyembunyian yang memisahkan rutinitas kehidupan sehari-hari dari fenomena-fenomena sebagai berikut: kriminalitas, penyakit dan kematian, dan seksualitas. Keterasingan terjadi karena akibat dari meningkatnya peran sistem abstrak dalam kehidupan sehari-hari. Keterasingan ini membawa kita kepada keamanan ontologis yang makin besar, tetapi dengan resiko “mengesampingkan kehidupan sosial dari masalah eksistensial fundamental yang menimbulkan dilema moral utama bagi umat manusia.
Meski modernitas itu ibarat pedang bermata dua, yakni membawa perkembangan positif dan negatif, menurut Giddens modernitas itulah yang melandasi “bayangan ancaman tentang ketidak berartian pribadi”.

Modernitas dan Intimasi
Giddens mengangkat berbagai tema ini dalam The transformation of Intimacy (1992). Dalam buku ini ia memusatkan perhatian pada transformasi keintiman terus-menerus yang menunjukkan gerakan menuju konsep penting lain dalam pemikirannya mengenai dunia modern, yakni konsep hubungan murni atau situasi dimana hubungan sosial berlangsung demi kepentingan hubungan sosial itu sendiri, demi sesuatu yang bakal didapatkan oleh setiap orang dari meneruskan hubungan dengan orang lain, dan hubungan itu hanya dapat akan dilanjutkan sejauh diperkirakan oleh kedua belah pihak dapat memberikan kepuasan yang cukup bagi setiap orang yang berhubungan tersebut. Dalam hal keintiman, hubungan murni ditandai oleh komunikasi emosional dengan diri sendiri dan dengan orang lain dalam konteks hubungan seksual dan kesamaan emosional. Demokratisasi hubungan antar pribadi pada umumnya, tetapi juga demokratisasi hubungan dalam susunan kelembagaan makro. Perubahan sifat hubungan intim, dimana wanita makin penting peranannya dan lelaki tertinggal, membawa implikasi revolusioner bagi masyarakat secara keseluruhan.
Dalam kehidupan modern, keintiman dan seksualitas telah terasingkan. Tetapi meski keterasingan membesaskan berbagai jenis perasaan dari keintiman dalam masyarakat tradisional, keterasingan ini juga merupakan sebuah penindasan. Upaya refleksif untuk menciptakan hubungan hubungan intim murni harus dilakukan dalam konteks yang terpisah dari masalah etika dan moral yang lebih luas. Tetapi, tatanan kehidupan modern ini mendapat tekanan karena orang, khususnya wanita berupaya merenungkan diri mereka sendiri dan orang lain. Giddens tak mengusulkan kebebasan seksual atau pluralisme seksual, tetapi lebih mendesakkan perubahan moral dan etika lebih besar, sebuah perubahan yang telah ia lihat berlangsung dalam hubungan intim.

Masyarakat Berisiko
Dalam karya Giddens tentang modernitas, Giddens menyatakan:
“modernitas adalah kultur berisiko. Ini bukan berarti bahwa kehidupan sosial kini lebih berbahaya dari pada dahulu, bagi kebanyakan orang itu bukan masalah. Konsep resiko menjadi masalah mendasar baik dalam cara menempatkan aktor biasa maupun aktor yang berkemampuan spesialis teknis dalam organisasi kehidupan sosial. Modernitas mengurangi resiko menyeluruh bidang dan gaya hidup tertentu, tetapi pada waktu bersamaan memperkenalkan parameter risiko baru yang sebagian besar atau seluruhnya tidak dikenal diera sebelumnya”.
Beck menamakan masyarakat baru atau yang baru muncul ini modernitas refleksif. Sebuah proses individualisasi yang kini terjadi di Barat. Yakni, agen-agen semakin bebas dari paksaan struktural dan karenanya semakin mampu menciptakan secara refleksif diri mereka sendiri dan masyarakat di mana mereka hidup.
Beck melihat terhentinya modernitas dan transisi dari masyarakat industri klasik ke masyarakat berisiko yang meski berbeda dari pendahulunya namun masih terus mempunyai berbagai ciri masyarakat industri. Masalah sentral dalam modernitas klasik adalah kekayaan dan bagaimana cara mendistribusikannya dengan lebih merata. Masalah sentral dalam modernitas yang lebih maju adalah risiko dan bagaimana cara mencegah, meminimalkannya, atau menyalurkannya. Dalam modernitas klasik, cita-citanya adalah persamaan, sedangkan dalam modernitas yang lebih maju cita-citanya adalah keselamatan. Dalam modernitas klasik orang mencapai solidaritas dalam mencari-cari tujuan positif persamaan, tetapi dalam modernitas yang lebih maju upaya untuk mencapai solidaritas itu ditemukan dalam mencari-cari tujuan menghindari bahaya yang sebagian besar bersifat negatif dan defensif.

Menciptakan Risiko
Risiko sebagian besar diciptakan oleh sumber kekayaan dalam masyarakat modern. Secara spesifik, industri dan pengaruh sampingannya menimbulkan sejumlah besar akibat yang berbahaya, bahkan mematikan, bagi masyarakat dunia secara keseluruhan. Dengan menggunakan konsep ruang dan waktu, Beck berpendapat bahwa resiko modernitas ini tidak hanya terbatas pada suatu tempat saja (kecelakaan nuklir di lokasi geografis tertentu dapat membahayakan berbagaa\i bangsa lain) atau tak terbatas dalam waktu (kecelakaan nuklir dapat membahayakan genetik yang mungkin mempengaruhi generasi yang akan datang).
Namun tak seorang individu kaya atau sebuah bangsa kaya pembuat risiko itu yang aman dari risiko. Dalam konteks ini Beck membahas apa yang ia sebut “efek bumerang” pengaruh sampingan dari risiko dapat menyerang kembali ke pusat pembuatnya. Agen modernisasi itu sendiri jelas ketularan bahaya atau risiko yang mereka lepaskan.

Mengatasi risiko
Walaupun modernisasi terdahulu menghasilkan risiko, ia juga menghasilkan refleksifitas yang memungkinkannya untuk mempertanyakan dirinya sendiri dan risiko yang dihasilkan. Pada kenyataannya, seringkali rakyat itu sendiri yakni korban dari risiko itu, yang mulai merefleksikan risiko modernisasi itu. Mereka mulai mengamati dan mengumpulkan data tentang risiko dan akibatnya bagi rakyat. Merekalah yang menjadi ahli yang mempertanyakan modernitas terdahulu dan bahayanya. Mereka melakukan ini sebagian karena mereka tak lagi percaya kepada ilmuwan dalam meneliti ancaman bahaya modernisasi itu. Memang Beck sangat keras mengecam ilmuwan karena peran mereka dalam menciptakan dan memelihara masyarakat berisiko. Ilmu telah menjadi pelindung kontaminasi global terhadap penduduk dan sumber daya alam. Tak berlebih-lebihan bila dikatakan bahwa dalam cara mereka menanggulangi risiko di berbagai kawasan, ilmu telah menghambur-hamburkan dengan sia-sia reputasi historisnya demi rasionalisasi.

ERVING GOFFMAN

Goffman lahir di Alberta, Canada 11 juni 1922. ia menerima gelar doktornya dari Universitas Chicago dan sering dianggap sebagai anggota aliran Chicago dan sebagai teoritisi interaksionisme simbolik. Tetapi, ketika ia ditanya tak lama sebelum meninggal apakah ia seorang interaksionisme simbolik, ia menjawab bahwa nama itu terlalu samar untuk memungkinkannya menempatkan dirinya kedalam kategori itu.
Goffman wafat tahun 1982 ketika berada di puncak ketenarannya. Ia sejak lama di anggap sebagai tokoh “pujaan” dalam teori sosiologi.
Karya Erving Goffman karya terpenting tentang diri dalam interaksionisme simbolik adalah Presentation of self in Everyday Life (1959) oleh Erving Goffmen. Konsep diri Erving Goffman sangat dipengaruhi oleh pemikiran Mead, khususnya dalam diskusinya mengenai ketegangan antara diri spontan, “I” dan “me”, diri yang dibatasi oleh kehidupan sosial. Ketegangan ini tercermin dalam pemikiran Goffman tentang apa yang disebutnya “ketaksesuaian antara diri manusiawi kita dan diri kita sebagai hasil dari sosialisasi. Ketegangan ini disebabkan oleh perbedaan antara apa yang ingin kita lakukan secara spontan dan apa yang diharapkan orang lain untuk kita lakukan. Kita berhadapan dengan tuntutan untuk melakukan untuk melakukan tindakan yang diharapkan dari kita. Selain itu, kita diharapkan tak ragu-ragu. Seperti yang dinyatakan Goffman, “kita tak boleh tunduk pada ketidak setabilan”. Untuk mempertahankan kestabilan citra diri, orang melakukan citra diri, orang melakukan audiensi sosial dengan dirinya sendiri. Dalam hal ini Goffman membangun konsep dramaturgi, atau pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan pertunjukkan drama, seperti yang ditampilkan diatas pentas.
Dramaturgi. Pandangan Goffman tentang diri dibentuk oleh pendekatan dramaturginya ini. Menurut Goffman (sebagaimana menurut Mead dan interaksionis simbolik) diri adalah: ‘bukan sesuatu yang bersifat organik yang mempunyai tempat khusus. Dalam menganalisis diri, kita mengambilnya dari pemiliknya, dari orang yang sangat diuntungkan atau dirugikan olehnya, karena itu ia dan tubuhnya semata hanya menyediakan patokan bagi sesuatu yang menghasilkan kerja sama yang akan tergantung untuk sementara....cara menghasilkan dan mempertahankan diri tak terletak pada patokan itu”.
Menurut Goffman, diri bukan milik aktor tetapi lebih sebagai hasil interaksi dramatis antara aktor dan audien. Diri adalah “pengaruh dramatis yang muncul .... dari suasana yang ditampilkan”. Karena diri adalah hasil interaksi dramatis, maka mudah terganggu selama penampilannya. Dramaturgi Goffman memperhatikan proses yang dapat mencegah gangguan dan penampilan diri. Meski bagian terbesar bahasanya ditekankan pada kemungkinan interaksi dramaturgis ini, Goffman menunjukkan bahwa kebanyakan pelaksanaannya adalah sukses. Hasilnya adalah bahwa dalam keadaan biasa, diri yang kokoh serasi dengan pelakunya dan “penampilannya” berasal dari pelaku.
Goffman berasumsi bahwa saat berinteraksi, aktor ingin menampilkan perasaan diri yang dapat diterima oleh orang lain. Tetapi, ketika menampilkan diri, aktor menyadari bahwa anggota audien dapat mengganggu penampilannya. Karena itu aktor menyesuaikan diri dengan pengendalian audien, terutama unsur-unsurnya yang dapat mengganggu. Aktor berharap perasaan diri yang mereka tampilkan kepada audien akan cukup kuat mempengaruhi audien dalam menetapkan aktor sebagai aktor yang dibutuhkan. Aktor pun berharap ini akan menyebabkan audien bertindak secara sengaja seperti yang diinginkan aktor dari mereka. Goffman menggolongkan perhatian sentral ini sebagai “manajemen pengaruh”. Manajemen ini meliputi teknik yang digunakan aktor untuk mempertahankan kesan tertentu dalam menghadapi masalah yang mungkin mereka hadapi dan metode yang mereka gunakan untuk mengatasi masalah itu.
Meski pandangan struktural seperti itu, perhatian utama Goffman terletak di bidang interaksi. Ia menyatakan, karena orang umumnya mencoba mempertunjukkan gambaran idealis mengenai diri mereka sendiri didepan umum, maka tanpa terelakkan mereka merasa bahwa harus menyembunyikan sesuatu dalam perbuatan mereka. Pertama, aktor mungkin ingin menyembunyikan kesenangan rahasia (misalnya, meminum alkohol) yang menjadi kegemaran dimasa lalu (misalnya, sebagai pemabuk) yang bertentangan dengan prestasi mereka. Kedua, aktor mungkin ingin menyembuyikan kesalahan yang telah dilakukan dalam menyiapkan langkah yang telah diambil untuk memperbaiki kesalahan itu. Contoh, seorang sopir taksi mungkin mencoba menyembunyikan fakta bahwa ia berangkat menuju arah yang keliru. Ketiga, aktor mungkin merasa perlu untuk menunjukkan hasil akhir akan menyembunyikan proses yang telah terlibat dalam menghasilkannya. Contohnya, seorang profesor mungkin menghabiskan waktu beberapa jam untuk menyiapkan bahan kuliah, tetapi mungkin ia ingin berbuat seolah-olah ia selalu materi kuliah. Keempat, aktor mungkin merasa perlu menyembunyikan dari audien bahwa dalam membuat suatu produk akhir telah melibatkan “pekerjaan kotor” pekerjaan kotor termasuk tugas-tugas yang tak bersih secara fisik, semilegal, kejam dan cara-cara buruk lainnya. Kelima, dalam melakukan perbuatan tertentu, aktor mungkin menyelipkan standar lain. Keenam, aktor mungkin akan merasa perlu menyembunyikan penghinaan tertentu atau setuju dihina asalkan perbuatannya dapat berlangsung terus. Umumnya aktor mempunyai kepentingan tetap dalam menyembunyikan seluruh fakta seperti itu dari audien mereka.
Pengelolaan Kesan. Goffman menutup bahasan Presentation of Self in Everyday life dengan memikirkan tambahan mengenai seni mengelola kesan. Pada umumnya pengelolaan kesan mengarah pada kehatian-hatian terhadap serentetan tindakan yang tak diharapkan, seperti gerak isyarat yang tak diharapkan, gangguan yang tak menguntungkan dan kesalahan bicara atau bertindak maupun tindakan yang diharapkan seperti membuat adegan. Goffman tertarik pada berbagai metode yang menjelaskan masalah seperti itu. Pertama, ada sekumpulan metode yang melibatkan tindakan yang bertujuan menciptakan loyalitas dramaturgis, misalnya dengan memupuk kesetiakawanan dalam kelompok, mencegah anggota tim mengenali penonton, dan mengubah penonton secara periodik sehingga penonton ini tidak terlalu banyak mengetahui mengenai aktor. Kedua, Goffman menunjukkan berbagai bentuk disiplin dramaturgis, seperti menjaga kesadaran untuk menghindari kekeliruan, mempertahankan pengendalian diri, dan mengelola ekspresi muka dan nada suara pertunjukkan aktor. Ketiga, Goffman menunjukkan berbagai tipe kehati-hatian dramaturgis seperti menentukan terlebih dahulu bagaimana cara pertunjukkan diselenggarakan, merencanakan untuk keadaan darurat, memilih teman satu tim yang setia.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

TERIMAKASIH SOB ATAS ARTIKELNYA